UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Program LIVE-IN Di Desa Mengubah Persepsi Kaum Muda Asing Terhadap Islam

Juli 16, 2008

CIGUGUR, Jawa Barat (UCAN) — Kaum muda Katolik dari beberapa negara di luar negeri yang tinggal selama lima hari di sebuah desa dalam perjalanan mereka menuju perayaan World Youth Day (WYD) di Australia mengatakan desa itu telah mengubah pandangan mereka tentang Islam di Indonesia.

Enam kaum muda masing-masing dari Jerman, Polandia dan Taiwan, serta 23 mahasiswa Unika Parahyangan Indonesia mengambil bagian dalam program itu di Cigugur. Kegiatan itu adalah bagian dari “MAGiS 08,” sebuah proyek untuk memperkuat spiritualitas Ignatius di kalangan kaum muda yang ikut dalam perayaan WYD internasional tahun ini.

Untuk program 6-10 Juli yang merupakan satu dari “eksperimen-eksperimen” MAGiS  menjelang WYD 15-20 Juli di Sydney, kaum muda Katolik itu tinggal di rumah-rumah umat Katolik namun berinteraksi dengan umat Islam serta penganut kepercayaan asli. Eksperimen-eksperimen ini diikuti kaum muda dari sekurang-kurangnya tiga bangsa yang tinggal bersama dalam komunitas selama sekitar seminggu di berbagai suasana yang asing bagi mereka.

Gwen Foo Fei Ling, seorang Malaysia yang belajar di Taiwan, mengatakan kepada UCA News 7 Juli bahwa umat Islam yang ditemuinya di Cigugur sangat familiar, berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh surat kabar dan televisi tentang umat Islam. “Kami bercerita tentang agama-agama kami dan melihat apa yang sama di antara kami,” kata wanita itu.

Foo menegaskan, orang tidak boleh menilai agama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok extremis atau fanatiknya. “Ajaran Islam itu baik. Kami tidak boleh punya prasangka negatif terhadap umat Islam,” katanya. “Jika setiap umat beriman tekun menjalankan ajaran agamanya, dunia ini bisa kita jadikan tempat yang lebih baik untuk dihuni.”

Oliver Wulff dari Jerman mengatakan pengalaman live-in itu mengajarkannya bahwa “di Indonesia, agama bukan merupakan suatu bagian dari kehidupan masyarakat — agama adalah kehidupan mereka.” Wulff perlu kursi roda untuk bergerak ke sana ke mari, namun ia berkomentar, “Di sini, tidak perlu saya minta bantuan, karena selalu ada orang membantu saya.”

Rekan senegaranya, Dorothea Laux, mengatakan ia akan membawa pesan ke Sydney bahwa “di dunia ini kita satu keluarga, maka kita harus saling berbicara dan saling memahami.”

Deviana Wijaya tinggal dengan sepasang suami-istri yang memiliki kedai makanan, dan membantu mereka memasak, melayani pelanggan dan menyuci alat-alat makan dan masak. Sebagai satu-satunya orang Indonesia dalam kelompok itu yang berangkat ke Sydney, ia mengatakan akan membawa pengalamannya tentang kerukunan hidup orang-orang yang berbeda agama. Wanita berusia 19 tahun itu menegaskan bahwa mengasosiasikan umat Islam dengan terorisme adalah “stereotip yang bodoh” dan “hendaknya umat Katolik tidak melakukan generalisasi semacam itu.”

Tanggal 7 Juli, orang-orang muda Katolik itu mengunjungi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan pesantren Al-Ihya, serta berdiskusi dengan para santri tentang kehidupan mereka serta apa yang mereka lakukan untuk menciptakan perdamaian di desa itu. Mereka secara terbuka berdiskusi tentang jilbab dan juga tentang poligami.

Mayasari, seorang santri, setuju dengan poligami. “Untuk bisa masuk surga seperti dikatakan dalam hadis Nabi Muhammad, saya setuju bakal suami saya melakukan poligami … tapi, siapa sih yang rela menyerahkan suaminya kepada wanita lain? ”

Pimpinan STAI itu, Nana Rusyana, mengatakan bahwa Cigugur adalah sebuah desa teladan “karena warganya hidup rukun.” Fenny Rahman, seorang guru di sekolah itu, menyambut baik kunjungan orang muda Katolik itu, “karena mereka menunjukkan kemauan luar biasa untuk membangun kerukunan.” Caca Cahyadi, sekretaris badan eksektif mahasiswa, juga memuji “keinginan (kaum muda Katolik) itu untuk belajar lebih mendalam tentang Islam.”

Di hari yang sama, kaum muda Katolik itu mengunjungi Paseban Tri Panca Tunggal milik Agama Djawa Sunda yang pernah dipakai sebagai gereja setelah Pangeran Tedjabuana dan 1.770 pengikutnya memutuskan untuk memeluk agama Katolik di tahun 1964.

Tanggal 8 Juli, Pastor Yohanes Berchmans Rosaryanto OSC, pastor mahasiswa Unika Parahyangan Bandung, mendampingi kaum muda itu melakukan Jalan Salib menuju Gua Maria di atas Bukit Cisantana, tempat mereka tinggal semalam.

“Prosesi itu bagus untuk meningkatkan cinta mereka terhadap lingkungan,” kata imam Salib Suci itu kepada UCA News. Ia yakin, orang muda yang datang berkunjung ke desa telah mengembangkan spiritualitas Kristiani yang menghargai pertumbuhan spiritualitas lain dalam agama Islam dan agama tradisional. “Kita patut memelihara ini karena ketika kita bicara soal spiritualitas kita bisa berdamai, dan yang seringkali membuat kita tidak damai ketika kita bicara soal agamanya,” tegasnya.

Tanggal 9 Juli kaum muda itu melakukan pertukaran budaya negara mereka masing-masing melalui berbagai tarian dan penampilan tradisional. Setiap sore sebelum pulang ke keluarga masing-masing tempat mereka tinggal, mereka mengadakan “MAGiS Circle,” saat mereka berbagi dan merefleksikan bersama pengalaman mereka sepanjang hari itu. Kegiatan-kegiatan MAGiS (http://magis08.org/) berlanjut di Sydney.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi