UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Keuskupan-keuskupan Memfokuskan Program Kerja Untuk Meningkatkan Pelayanan Terhadap Perempuan

Juli 29, 2008

JAKARTA (UCAN) — Para imam, kaum religius, dan umat awam dari 24 keuskupan yang aktif dalam Jaringan Mitra Perempuan (JMP) yang mempromosikan pemberdayaan perempuan sepakat untuk meningkatkan pelayanan mereka dengan menyusun dan melaksanakan sejumlah program kerja.

“Kami sepakat untuk menindaklanjuti hasil pertemuan dengan melaksanakan konsolidasi pastoral gender dan pemberdayaan perempuan di masing-masing keuskupan,” kata mereka dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan seusai pertemuan mereka yang berlangsung 17-20 Juli di Wisma Samadi di Klender, Jakarta Timur. Peserta terdiri atas seorang uskup, tujuh imam, empat biarawati, satu bruder, dan 32 awam.

Mereka juga sepakat untuk membangun jejaring antar-wadah pastoral gender dan pemberdayaan perempuan agar dapat saling berbagi pengalaman pendampingan dan pemberdayaan perempuan.

“Kami sepakat untuk mengadakan pertemuan berkala antar-wadah pastoral gender dan pemberdayaan perempuan,” kata mereka.

Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia mengadakan pertemuan itu. Menurut Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, yang memoderatori sekretariat itu dan memimpin Misa pembukaan, tujuan kegiatan itu adalah memberi kesempatan kepada para pekerja pelayanan men-sharing-kan ide dan merencanakan kerja untuk meningkatkan pelayanan Gereja terhadap para korban ketidakadilan yang berbasis gender dan perempuan pada umumnya.

Pada sesi pengantar, tiga wanita awam berbicara tentang kesetaraan Gender, pemberdayaan perempuan, dan lingkungan hidup, sebuah isu utama yang tengah diintegrasikan oleh Gereja lokal dalam seluruh programnya. Peserta kemudian men-sharing-kan evaluasi dari pelayanan keuskupan mereka masing-masing.

Di hari ketiga, seorang pria awam mempresentasikan Logical Framework Analysis (FLA), sebuah metodologi perencanaan program yang mengaitkan tujuan, kegiatan, indikator kemajuan, dan asumsi. FLA juga digunakan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi.

Seusai presentasi itu, peserta menggunakan pendekatan itu untuk menyusun program kerja yang akan dilaksanakan tahun depan di keuskupan dan regio mereka masing-masing. Program-program yang disusun ini antara lain mengadakan seminar tentang isu-isu yang berkaitan dengan gender.

Wakil-wakil dari region Jawa juga sepakat untuk mendidik remaja dan orang dewasa tentang isu-isu yang berkaitan dengan perempuan, dan untuk membangun jejaring di antara LSM-LSM lokal untuk bertukar informasi.

Para pekerja Gereja dari Kalimantan berjanji untuk mengadakan seminar di sekolah-sekolah yang dikelola Katolik serta paroki-paroki, untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan Gereja, dan untuk memberikan program-program penyadaran tentang lingkungan.

Peserta dari Nusa Tenggara juga merencanakan untuk mengadakan seminar di sekolah-sekolah dan paroki-paroki dan meningkatkan keterlibatan perempuan di bidang politik.

Delegasi Papua dan Sulawesi membahas program kerja mereka bersama dan memutuskan untuk memasukkan isu-isu gender dalam materi kursus persiapan perkawinan. Mereka juga merencanakan untuk memberikan kursus manajemen bagi pria dan wanita dan program-program penyadaran tentang lingkungan.

Peserta dari Sumatra sepakat untuk meningkatkan peran perempuan dalam kegiatan-kegiatan Gereja dan membuat sumur-sumur resapan yang biasa dipakai untuk menyerap air hujan, untuk membantu melindungi lingkungan.

Dalam membuat program, para delegasi berpatokan pada data dari Komisi Nasional Perempuan yang melaporkan bahwa sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 3.000 kasus pada tahun 2001 menjadi 25.000 kasus pada tahun 2007. Mereka juga merujuk pada kerusakan lingkungan akibat pembabatan hutan, pembangunan gedung tanpa sumur resapan, tingginya penggunaan plastik yang tidak bisa didaur ulang, dan penyebab-penyebab lainnya.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, mereka mengatakan bahwa Gereja dipanggil untuk menjadi ”sakramen keselamatan” bagi dunia. ”Gereja Indonesia perlu terus-menerus membaca tanda-tanda zaman, menganalisa kekuatan-kekuatan merusak yang mengasingkan dunia dan umat manusia dari kekuatan kasih Allah,” kata mereka, seraya menyebut Nota Pastoral 2004 dari Konferensi Waligereja Indonesia.

Dengan kata lain, lanjut mereka, “Gereja Indonesia harus terus-menerus  membangun habitus baru dengan mengembangkan ciri hidup yang berprespektif gender serta berwawasan lingkungan.” Habitus baru adalah gugusan insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi seseorang atau kelompok.

Margaretha Kafudji dari Keuskupan Jayapura di Papua mengatakan kepada UCA News bahwa pertemuan itu mengajarkan dia “cara menyusun program kerja sesuai dengan situasi di daerah kami,” di mana banyak perempuan buta huruf.

Menurut Uskup Kung, Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia mengadakan pertemuan serupa sekali dalam tiga tahun.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi