UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

INDONESIA – Wawancara – “Pendidikan Kunci untuk Memajukan Hak Asasi Manusia”

Desember 29, 2008

JAKARTA (UCAN) — Hak Asasi Manusia dapat ditegakkan di Indonesia dengan memprioritaskan pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat, kata seorang perempuan Muslim yang baru-baru ini mendapat penghargaan Yap Thiam Hien 2008.

Siti Musdah Mulia juga mengatakan bahwa agamanya menginspirasi dan memotivasinya untuk memperjuangkan pluralisme dan hak asasi manusia bagi kelompok-kelompok minoritas dan terpinggir.

Direktur eksekutif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu mendapat penghargaan karena keberanian, kegigihan, dan konsistensinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama, jender, ideologi, dan sosioekonomi. ICRP merupakan cabang nasional dari World Conference of Religions for Peace.

Pada 10 Desember, Hari Hak Asasi, Diana Nurmin, sepupu Mulia yang berusia 50 tahun, mewakilinya menerima penghargaan itu dalam upacara penyerahan di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Saat itu, Mulia sedang melaksanakan ibadah haji di Mekkah dengan suaminya.

Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Jakarta itu dibentuk tahun 1992 untuk menghormati Yap Thiam Hien (1913-1989), seorang pengacara terkenal dan pembela hak asasi manusia di Indonesia.

Mulia lahir pada 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Ia lulus dari Institut Agama Islam Negri Alauddin di Makasar tahun 1982. Ia memperoleh gelar magister di bidang Sejarah Pemikiran Islam tahun 1992 dan doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam tahun 1997, keduanya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta.

Musdah berbicara dengan UCA News pada 19 Desember di Jakarta ketika dalam perjalanan untuk menyaksikan pemutaran film tentang perempuan.

 

Berikut ini wawancaranya:

     

UCA News: Apa tanggapan Anda dengan penghargaan Yap Thiam Hien?

 

SITI MUSDAH MULIA: Penghargaan itu bukan hanya untuk saya sendiri tetapi untuk semua aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia dan yang membangun komitmen untuk orang-orang terdiskriminasi dan termajinalisasi. Perlu dicatat juga bahwa perjuangan itu tidak gampang. Kami harus berani menghadapi banyak tantangan. Dalam hal ini, penghargaan itu memotivasi mereka sehingga tidak patah hati.

 

Apa saja tantangan perjuangan Anda?

 

Saya diberhentikan dari Kantor Departemen Agama karena pemikiran saya. [catatan editor: Mulia bertugas sebagai penasehat departemen itu tahun 1985-2007]. Banyak orang tidak suka dengan pemikiran saya yang kritis. Tetapi bagi saya, itu tidak masalah. Kita tidak harus mempunyai jabatan untuk menyuarakan kebenaran. Saya tidak pernah berharap mendapat penghargaan atau apresiasi. Menegakkan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab kita sebagai manusia. Itu juga menjadi esensi ajaran agama, Jadi, saya melakukannya sebagai sebuah panggilan hati nurani.

Ada banyak hambatan juga dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Yang pertama itu pendidikan. Masyarakat kita belum terdidik sehingga pemahaman mereka tentang hak asasi manusia masih dangkal. Mereka belum dikenalkan dengan hak asasi manusia dengan kewajiban-kewajibannya pada tingkat paling dasar. Bahkan, orang dewasa tidak memahami hak asasi manusia. Menurut saya, pendidikan berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai manusia yang mendasar ini.

Meskipun banyak orang menentang saya, saya selalu mendapat kesempatan untuk berbicara. Saya sering diundang dalam pertemuan internasional dan banyak orang menghargai saya. Masih ada banyak orang yang tidak membenci saya. Saya sering tidak mengerti keadilan Tuhan.

 

Ceritakan perjuangan Anda

 

Pertama, saya menekankan bahwa kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan. Kedua, saya selalu memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa semua manusia itu sama. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Saya menganggap perjuangan saya untuk kelompok terpinggir dan minoritas sebagai suatu kewajiban karena selama ini mereka tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan program-program pemerintah. Minoritas di sini mengacu pada minoritas agama.

Saya juga menawarkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai manusiawi yang menekankan persamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap yang berbeda.

 

Apa yang menginspirasi Anda untuk memperjuangkan hak asasi manusia?

 

Agama saya. Al-quran memiliki pesan-pesan moral yang begitu menghargai kemanusiaan. Al-quran juga menjelaskan bahwa tujuan akhir agama kita adalah memanusiakan manusia. Saya merasa heran kalau ada orang beragama tidak menghargai kemanusiaan.

 

Kelompok garis keras Muslim tidak sependapat dengan Anda.

 

Apa yang saya lakukan sungguh melawan arus. Keberanian diperlukan untuk merekonstruksi budaya. Saya kira budaya adalah produk manusia yang dapat diubah, dengan membangun budaya baru. Itu tidak mudah tetapi harus kita lakukan sekarang.

Saya sering berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam garis keras, namun saya tidak takut karena apa yang saya lakukan itu benar. Dalam upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama, saya berhadapan dengan kelompok-kelompok agama yang konservatif, yang memandang bahwa interpretasi yang sudah ada tidak boleh diubah. Tetapi kita harus melakukannya, apakah orang suka atau tidak suka.

 

Survei yang dilakukan baru-baru ini mengatakan bahwa kebanyakan guru agama Islam menolak pluralisme. Mengapa?

 

Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita tidak mengajarkan penghargaan terhadap keragaman. Malahan, para guru mengajar murid-murid mereka bahwa kita ini berbeda dan perbedaan itu tidak bisa ditoleransi tetapi diwaspadai. Karena itu, bagi saya sistem pendidikan tidak mendukung upaya-upaya untuk membangun pluralisme. Pendidikan, khususnya pendidikan agama, harus menanamkan nilai agama yang menghargai sesama, ketimbang aspek ritual belaka.

 

Bagaimana Ada mempromosikan hak asasi manusia?

 

Pertama, saya mencoba merekonstruksi budaya dengan menekankan pronsip-prinsip persamaan dan egalitarianisme. Tidak mudah memperkenalkan pendidikan multikulturalisme yang menghargai perbedaan, Kedua, saya mencoba mereformasi kebijakan-kebijakan publik yang mendiskriminasi kelompok minoritas, terpinggir, dan tertindas, Ketiga, saya mencoba mengoreksi interpretasi agama yang bias gender, klas, dan pembedaan mayoritas-minoritas.

Selain itu, saya mempromosikan hak asasi manusia melalui kehidupan pribadi – dalam keluarga, program-program dan upaya-upaya pendidikan.

 

Bagaimana situasi hak asasi manusia di Indonesia?

 

Selama masalah pendidikan belum dibenahi dan pemerintah belum menunjukkan “political will” untuk menegakkan hak asasi manusia, kita akan terus tertinggal dalam perlindungan hak asasi manusia.

 

Bagaimana pemerintah mendukung perjuangan Anda?

 

Saya tidak berharap banyak dari pemerintah, tetapi saya berharap mereka sadar akan masyarakat kita yang heterogen. Pancasila dan UUD 1945 mengakui kebebasan warga negara untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya.

Agama itu persoalan individu sehingga negara cukup menjamin dan memfasilitasi para pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agama dan ibadat. Negara tidak berhak mengakui atau tidak mengakui agama atau memutuskan apakah suatu agama itu resmi atau tidak.

Kebebasan beragama merupakan prinsip penting bagi bangsa ini dan dengan demikian makna dan konsekuensinya harus benar-benar dipahami oleh negara dan masyarakat. Prinsip ini harus diwujudkan dalam bentuk Undang-undang yang memayungi kebebasan beragama.

Undang-undang semacam itu akan memproteksi warga negara dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Undang-undang itu juga akan mencegah campur tangan negara dalam dasar-dasar kepercayaan, ibadah dan syari’at agama. Tujuan lainnya adalah menyadarkan warga negara bahwa sebagai manusia bermartabat, mereka mempunyai hak dasar, seperti bebas berpendapat, berkeyakinan, atau beragama.

 

Apa yang harus dilakukan lembaga-lembaga keagamaan?

 

Lembaga keagamaan harus mau mereformasi diri, introspeksi terhadap kinerja mereka, mengembangkan visi mereka dan mendukung upaya-upaya interpretasi ajaran agama.

 

Apa prioritas Anda sekarang?

 

Saya yakin bahwa pendidikan dapat mengubah banyak hal sehingga pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam sekolah, keluarga dan masyarakat. Ketiganya harus bekerja sama untuk mengubah budaya yang tidak egalitarian dan tidak menghargai perbedaan.

 

Bagaimana situasi pluralisme di Indonesia ke depan?

 

Saya optimis bahwa semua hal bisa berubah. Yang  paling penting pemerintah menunjukkan kemauan kuat untuk melakukan perubahan. Sangat tidak mungkin bagi negeri kita, yang heterogen dalam semua aspek, untuk mengabaikan aspek pluralisme. Salah satu prasyarat untuk membangun negeri ini adalah menerima kebhinekaan. Hal itu dijadikan dasar untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya juga optimis bahwa para cendekiawan dan akademisi akan berpikir kritis dan mengabdikan diri mereka untuk menjaga keberagaman di Indonesia.

END

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi