UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

BANGLADESH – Gereja Bantu Buruh Migran Kristen

Maret 16, 2009

DHAKA (UCAN) — Kabita Rema (bukan nama sebenarnya), seorang Katolik dari Bangladesh bagian timur laut, bermimpi bisa menolong keluarganya dengan bekerja di Dhaka. Tetapi manipulasi dan pelecehan seksual di ibukota itu melenyapkan impiannya dan merusak mentalnya.

Gadis berusia 19 tahun dari komunitas suku Garo di Mymensingh itu berasal dari keluarga miskin sehingga tidak bisa menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Maka dia datang ke Dhaka untuk bekerja di sebuah salon kecantikan. Namun seorang pria menggodanya dengan janji untuk menikahinya tetapi mengabaikannya.

Pengalamannya itu membuatnya trauma di rumah sakit jiwa di ibukota itu. Dia ditemukan oleh para suster Salesian dari Maria Imakulata dan Misionaris Cinta Kasih dan merawatnya hingga sembuh.

“Seperti Rema, banyak gadis rentan untuk dilecehkan ketika bekerja di kota sebagai buruh migran,” kata Suster Jita Rema, yang berkarya dengan para buruh migran Kristen di Dhaka.

Suster yang menjadi sekretaris Komisi Kepemudaan dari para uskup itu berbicara dengan UCA News di sela waktu seminar 10 Maret untuk para migran di pusat Konferensi Waligereja Bangladesh di Dhaka. Acara itu diselenggarakan atas kerjasama Komisi Kepemudaan, Komisi Keadilan dan Perdamaian, serta Caritas, badan pelayanan sosial Gereja. Seminar yang dihadiri oleh 87 buruh migran itu bertema “Martabat dan Hak Buruh Migran.”

Uskup Agung Dhaka Mgr Paulinus Costa, tamu utama, mengatakan kepada mereka: “Kami berada di samping Anda untuk menolong. Yang Anda butuhkan adalah berpeganglah teguh pada iman dan nilai-nilai moral di manapun Anda bekerja.”

Suster Rema mengatakan, pekerja-pekerja Gereja mengunjungi para buruh migran secara teratur di berbagai tempat kerja mereka untuk turut melindungi hak buruh. Mereka mengumpulkan informasi tentang situasi buruh serta mendaftar nama dan alamatnya, sehingga mereka dapat mengatur Misa dan pengakuan dosa bagi para buruh yang tidak bisa menghadiri Misa hari Minggu.

Sekretaris komisi kepemudaan itu memperkirakan ada 15.000 migran Kristen bekerja di keluarga, salon kecantikan, bisnis-bisnis Export Processing Zone, serta pabrik kulit dan pakaian. Karena banyak buruh tidak diperlakukan dengan baik, lanjutnya, maka selain memberi pelayanan pastoral, Gereja juga berusaha untuk mengadakan negosiasi dengan para majikan atas nama buruh selama dua tahun terakhir.

Sejumlah buruh migran yang menghadiri seminar itu men-sharing-kan dengan UCA News betapa mereka diperlakukan secara buruk di tempat kerja dan bagaimana Gereja menolong mereka.

“Kami tidak bisa ikut Misa Minggu di gereja, namun para imam mengadakan Misa untuk kami. Ini menenangkan saya,” kata Rupali Rozario, 40, seorang buruh pabrik pakaian. “Karena berasal dari komunitas Kristen minoritas, kami tidak dihargai oleh para majikan. Kami tidak bisa ikut Jalan Salib di masa Prapaskah karena mereka tidak mengizinkan meninggalkan pekerjaan,” demikian penyesalan warga Distrik Natore, Bangladesh bagian barat laut, yang bekerja di Export Processing Zone di Savar, dekat Dhaka itu.

David Kamakula bekerja sebagai petugas kebersihan untuk Dhaka City Corporation. “Saya tidak menikmati hal yang sama seperti yang dinikmati rekan-rekan kerja yang non-Kristen,” katanya. “Waktu sakit, saya tidak memperoleh tunjangan kesehatan. Tetapi para suster dari Tarekat Misionaris Cinta Kasih merawat saya dan menolong saya dengan memberi sedikit uang.”

Rekan kerja Kamakula, 20, seorang Katolik dari suku Telegu, menambahkan, “Orang-orang dari komunitas suku saya yang menjadi petugas kebersihan sering direndahkan oleh rekan-rekan Muslim yang biasanya tidak berbaur dengan kami.” Dia mengungkapkan penghargaannya kepada Pastor Edmond Cruze OSC, kepala paroki di Luxmibazar, Dhaka, dan para suster Misionaris Cinta Kasih karena memperhatikan mereka secara spiritual “dengan memberi penyuluhan bila dibutuhkan.”

Anima Chiran, 21, seorang buruh di pabrik kulit, menyesal bahwa dia dan rekan-rekan Kristennya tidak mendapat libur untuk Idul Fitri dan Idul Adha, dua pesta utama kaum Muslim. Dia hanya memperoleh satu hari libur untuk Natal. “Sangat sering para majikan bertingkah buruk terhadap kami, dan kami tidak bisa membuka mulut melawan mereka demi pekerjaan,” kata perempuan itu.

Sabina Rongma, 30, seorang warga suku Garo yang bekerja di Persona Beauty Parlor yang elit di Dhaka, melaporkan bahwa 300 dari 350 anggota staf adalah perempuan Kristen warga suku, tapi mereka tidak mendapat untung apa-apa. “Jika Anda tidak masuk satu hari,” katanya, “upah untuk dua hari kerja dipotong majikan.”

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi