UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Prospek cerah bagi anak-anak migran

April 22, 2010

Prospek cerah bagi anak-anak migran

Murid-murid di Sekolah Prichayarn Suksa

Anak-anak tanpa kewarganegaraan di Propinsi Tak di perbatasan Thailand kini bisa bersekolah berkat sekolah-sekolah yang dikelola para suster untuk mereka.

Sekolah Prichayarn Suksa dan Sekolah Santhawamaitri Suksa, yang dikelola oleh para suster dari Tarekat St. Paul De Chartres, melayani anak-anak dari para pekerja migran Myanmar dari berbagai kelompok etnik minoritas.

“Anak-anak ini tidak memperoleh … pendidikan dan pelayanan pokok kesejahteraan masyarakat lainnya [karena] negara menyatakan bahwa mereka ini orang-orang ilegal dan kewarganegaraan mereka tidak diakui,” kata Suster Maurice Chavieng Srivichairatana, direktur Sekolah Prichayarn Suksa di Phop Phra.

“Pendidikan menjadi harapan anak-anak yang tidak punya kewarganegaraan ini. Jika mereka tidak berpendidikan, mereka mungkin akan dipaksa untuk bekerja secara ilegal atau diselundupkan,” tambah suster itu.

Keuskupan Nakhon Sawan dan berbagai badan Gereja lainnya mendukung sekolah-sekolah itu, yang saat ini telah dikembangkan sehingga memiliki tingkat sekolah menengah.

Para suster mulai dengan pusat-pusat belajar, yang saat ini berjumlah 10 buah di propinsi itu. Pusat pertama dimulai para suster 35 tahun lalu.

Sekolah Prichayarn Suksa di Mae Sot memiliki hampir 300 pelajar, kebanyakan etnis Karen baik dari keluarga beragama Budha maupun keluarga Kristen, sementara banyak keluarga lainnya masih mempraktekkan animism. Sekolah ini memiliki 18 guru.

Anak-anak tanpa kewarganegaraan khawatir dideportasi

Menurut direkturnya, Suree Vinitchop, Sekolah Santhawamaitri Suksa, yang dimulai tahun 2004 sebagai pusat belajar, kini memiliki sekitar 200 siswa.

Perempuan kepala sekolah itu mengatakan, sebelum sekolah didirikan, banyak dari anak-anak itu biasanya menjual bunga atau mengemis di jalan. “Anak-anak ini … gampang ditangkap dan dideportasi,” katanya.

“Tanpa hak-hak dasar, mereka bisa saja dipaksa untuk bekerja secara ilegal dan bisa saja dijerumuskan ke dalam dunia yang kotor seperti narkoba dan perdagangan manusia.”

Di sekolahnya, katanya, ada 14 guru Tjailand dan tiga guru Myanmar. Mereka mengajar bahasa Thai, Inggris, dan Myanmar serta matematika dan sains.

Sekolah-sekolah dan pusat-pusat belajar dari para suster itu memberi pendidikan gratis kepada anak-anak ini, dengan umumnya menggunakan silabus dan buku pelajaran berbahasa Thai.

Tahun lalu, pemerintah Thailand mulai untuk memasukkan anak-anak tanpa kewarganegaraan itu ke dalam sistem pendidikan. Namun, hampir semua orang yang tidak memiliki kewarganegaraan ini tidak menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah negeri karena takut, sementara beberapa sekolah negeri masih tidak mau menerima anak-anak tanpa kewarganegaraan.

Lu Lu, seorang pelajar berusia 10 tahun di salah satu sekolah Gereja itu, mengatakan: “Saya sangat senang karena bisa sekolah. Jika saya bisa bicara dan menulis dengan baik dalam bahasa Thai, saya bisa bekerja dan memperoleh penghasilan yang baik di kemudian hari.”

Ayah saya, kata dia, bekerja di pabrik.

Sunee, seorang siswi Muslim berusia 10 tahun, yang ayahnya seorang tukang bangunan, mengatakan, dia ingin menjadi seorang guru saat ia besar nanti. “Kalau saya bisa belajar lebih tinggi lagi, cita-cita saya bisa terwujud.”

UCA News

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi