UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

“Gereja mesti lebih utamakan manusia daripada institusi”

April 29, 2010

“Gereja mesti lebih utamakan manusia daripada institusi”

Bruder Varghese Theckenath

Gereja harus memeriksa kembali cara kerjanya dari perspektif hak asasi manusia, kata Bruder Monfortan Varghese Theckenath, yang berkarya di kalangan korban kekerasan sektarian di India.

Direktur Montfort Social Institute di Hyderabad, India selatan, mengatakan Gereja gagal dalam misinya di Orissa, India timur, dalam kekerasan anti-Kristen yang terjadi tahun 2008.

Kerusuhan di sana menewaskan sekitar 90 orang dan 50.000 lain kehilangan tempat tinggal, kebanyakan dari mereka itu Kristen.

Bruder Theckenath mengkoordinasi bantuan hukum bagi korban dengan menyediakan sekitar 40 pengacara, semuanya anggota Konferensi Pemimpin Religius India.

Menurutnya, Gereja harus berani membela hak asasi manusia, terlibat secara politik, dan mengutamakan manusia ketimbang institusinya sendiri.

Dalam sebuah wawancara dengan UCA News, ia menganalisis penyebab kegagalan Gereja untuk menanggapi tragedi Orissa dan mengatakan bahwa secara umum Gereja perlu belajar melihat masalah, seperti skandal pelecehan seksual yang dialaminya sendiri, dari perspektif hak asasi manusia.

UCA NEWS: Apa yang membuat Anda pergi ke Orissa?

BROTHER VARGHESE THECKENATH: Ketika orang mempunyai masalah, kita tidak bisa duduk tenang. Ketika kerusuhan dan bencana terjadi, saya selalu memprakarsai dan mengkoordinasi berbagai kegiatan bagi para korban.

Tetapi tanggapan Anda terhadap Orissa terlambat hampir dua tahun. Mengapa?

Ketika pecah kerusuhan pada Agustus 2008, saya sedang belajar di Costa Rica. Pertama kali saya bertemu dengan para korban Kandhamal adalah ketika saya kembali dua bulan setelah kekerasan itu terjadi. Saya pikir, saya harus melakukan sesuatu.

Pada Desember tahun itu, beberapa dari kami pergi ke Kandhamal untuk merayakan Natal di Naugaon, salah satu tempat yang paling parah terkena kerusuhan itu. Sejak itu saya pergi ke Orissa secara berkala. Kami kemudian pertimbangkan satu wilayah yang perlu diintervensi berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Tapi sudah lebih dari satu setengah tahun kerusuhan terjadi, ribuan orang masih tinggal di daerah kumuh jauh dari desa mereka. Apakah yang dapat Anda lakukan sekarang?

Ada banyak dinamika berbeda dalam bekerja di sana. Kami mengumpulkan para Religius yang adalah pengacara untuk membantu para korban mendapatkan penyelesaian hukum. Kami sadar, sekaranglah waktunya untuk masuk karena beberapa kasus di-drop sehingga para korban bisa mendapatkan keadilan. Dari 11 kasus pembunuhan yang di-drop, hanya ada satu kasus yang punya dakwaan. Maka sekaranglah waktu yang tepat untuk menanggapinya secara hukum.

Lantas, apa rencana Anda?

Kami memutuskan tiga bidang. Pertama, meminta penutupan dua jalur pengadilan yang dibentuk untuk mempercepat persidangan kasus-kasus kerusuhan. Kedua jalur itu tidak lagi menegakkan keadilan. Kedua, persidangan harus dilakukan di luar Kandhamal karena proses hukum terhambat lantaran ada ancaman dan intimidasi dari kelompok radikal.

Ketiga, kami menginginkan tim penuntut khusus untuk membuka dan menyelidiki kembali kasus-kasus yang sudah di-drop, terutama kasus-kasus pembunuhan. Penyelidikan dan proses pengadilan sangat cacat. Jadi kami minta Mahkamah Agung membuka kembali kasus-kasus pembunuhan.

Dari ketiga bidang itu, mana yang sedang Anda kerjakan?

Sekarang kami sedang mengumpulkan dokumen-dokumen dari 11 kasus pembunuhan tersebut untuk dianalisis oleh para pakar. Para pengacara Religius bergantian mengunjungi berbagai tempat pembantaian guna mengumpulkan bukti untuk membawa kasus-kasus lain ke pengadilan. Pemerintah kini menahan sekitar 40 pelaku pembunuhan, padahal jumlah pelaku sesungguhnya sekitar 95 orang.

Setelah mengumpulkan data, kami akan mendekati seorang pengacara untuk mengajukan kembali kasus itu. Satu-satunya harapan para korban adalah memperoleh keadilan. Bagi mereka, itu sangat penting. Ini masalah harga diri.

Mengapa tak seorang pun, bahkan Gereja, tahu jumlah orang yang dibunuh dalam kerusuhan Orissa?

Ini karena sistemnya gagal. Inilah tragedi yang mestinya menusuk hati nurani India sebagai suatu bangsa. Tapi bagaimanapun, sistemnya telah gagal. Gereja memang berada di lapangan tapi gagal melakukan sesuatu. Kami berada di sana karena tidak ada orang lain. Tujuan utama kami adalah membantu para korban melalui sistem peradilan.

Gereja juga harus melihat bagaimana bisa menciptakan suatu kelompok masyarakat madani yang bisa berbicara bahwa Kandhamal merupakan tragedi yang memprihatinkan segenap rakyat negeri ini. Kejadian serupa akan terulang, jika rakyat India sendiri tidak menyadarinya. Ini mestinya bukan agenda Gereja, melainkan agenda bangsa ini.

Mengapa sebagai komunitas, Gereja gagal di Orissa?

Gereja tidak mengajarkan umat bagaimana menjadi warga negara dan bagaimana menuntut hak-hak sipil mereka. Secara keseluruhan, umat Kristen India tidak cukup berpolitik.

Gereja tidak pernah belajar atau berbicara tentang cara mengatur protes demokratis atau turun ke jalan. Secara politik, Gereja tidak terlibat. Gereja tidak menyadari perlunya warga dari sebuah negara yang bebas untuk menyatakan hak-hak mereka.

Kedua, Gereja hierarkis menganggap istitusi itu lebih penting dari manusia. Meskipun kekerasan dan penderitaan dialami korban, Gereja hanya berusaha melindungi institusinya.

Salah satu contoh: Pemerintah ingin menutup kamp-kamp [tempat para korban menetap]. Orang-orang Gereja menyetujuinya meskipun mereka tahu korban kerusuhan masih takut untuk kembali ke desa mereka. Gereja takut kehilangan maksud baik pemerintah dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.

Ketiga, kita tidak berani berbicara. Seorang teman Muslim mengatakan bahwa ketika terjadi kerusuhan di Gujarat, Gereja bungkam dan ia berpikir jangan-jangan Gereja diam karena para korban itu Muslim. Tapi di Orissa para korban itu orang Kristen dan Gereja tetap saja tidak banyak bicara. “Kapan Gereja berbicara,” tanyanya.

Insiden Kandhamal merupakan kontak pertama Gereja India dengan kekerasan sektarian berukuran besar. Hal seperti itu tidak pernah kami melihat sebelumnya. Kita selalu mengira bahwa kita punya jawaban atas semua tantangan dan masalah. Tapi di Orissa, kita gagal total.

Kini saatnya kita tahu bahwa kita butuh bantuan orang lain. Kita telah gagal mengangkat Kandhamal menjadi isu nasional, suatu isu pelanggaran hak asasi manusia.

Apa masa depannya?

Gereja harus maju. Dia harus bergulat dengan isu-isu ini: mengutamakan manusia bukan institusi, berpolitik, dan berani bersuara. Gereja perlu mengubah paradigma dalam pendekatannya terhadap isu-isu ini.

Di Orissa, selain kasus yang sedang berlangsung, ada isu-isu lain yang perlu mendapat perhatian Gereja seperti perpindahan keluarga dan perdagangan perempuan dari daerah-daerah yang mengalami kekerasan. Bagaimana melakukannya dan siapa yang akan melakukan? Saya tidak tahu.

Apakah institut Anda merencanakan program-program untuk membantu Gereja dalam situasi seperti Orissa?

Kita harus membantu umat untuk bisa melihat isu-isu tersebut dalam perspektif yang tepat. Keseluruhan skandal seks yang kini menggoncang seluruh dunia merupakan masalah hak asasi manusia. Ini bukan sekedar persoalan dosa dan pengampunan.

Sikap Gereja adalah bahwa para imam pelaku pelecehan seksual itu mengaku dosa, diampuni, dan maju terus. Gereja tidak bertanya apa yang terjadi pada anak-anak korban pelecehan itu. Dunia justru melihat masalah itu dari perspektif hak anak-anak yang dilecehkan.

Hak asasi manusia merupakan sebuah perspektif baru bagi Gereja. Jika kita melihat Gereja dari perspektif hak asasi manusia, maka kehidupan religius, selibat, paus, dan institusi fundamental lainnya dari Gereja mungkin perlu ditinjau kembali secara serius.

Apakah Gereja siap?

Bila Anda berbicara tentang Gereja, ada dua jenis Gereja yang berfungsi. Satunya adalah manusia berjubah, hirarki. Lainnya adalah orang-orang biasa. Perubahan di level atas tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perubahan akan terjadi dari bawah. Tapi perubahan itu pasti akan terjadi.

Kini, sementara kalangan menyerukan suatu Konsili Vatikan ketiga. Ini bisa terjadi dan isu-isu ini mungkin dibicarakan. Sebagai mahasiswa sosiologi, sangat sulit bagi saya untuk mengatakan kapan perubahan akan terjadi. Tapi sebagai orang percaya, saya yakin bahwa jika Roh Kudus memimpin Gereja, perubahan pasti akan terjadi, dan itu akan lebih cepat daripada yang diduga.

UCA News

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi