UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Orang Katolik itu hidup bagi satu sama lain

Agustus 25, 2010

Orang Katolik itu hidup bagi satu sama lain

William Grimm

Hampir 20 tahun terakhir, saya pernah berbicara dengan seorang imam yang merayakan 60 tahun imamatnya.

“Apa yang ada dalam benak Anda tentang 60 tahun imamat, Jim?”

Dia diam sejenak sebelum menjawab, dan kemudian perlahan-lahan dia bicara.

“Lima tahun pertama adalah yang terbaik. Anda akhirnya meninggalkan seminari dan melakukan apa yang ingin Anda lakukan dalam hidup ini. Setiap hari Anda mempelajari hal-hal baru. Dan semua umat mencintai seorang imam muda. Lima tahun pertama merupakan yang terbaik. Kemudian, sisa hidup hanya menikmati rasa malu tentang apa yang dilakukan Gereja bagi umat.”

Bertahun-tahun, saya menceritakan kepada imam-imam dari berbagai negara tentang apa yang Jim katakan itu, dan kebanyakan sependapat. Jumlah tahun-tahun yang baik itu lebih banyak diterima ketimbang ditolak.

Para imam segera belajar setelah tahbisan, jika mereka belum mengetahuinya di seminari atau bahkan sebelum masuk seminari, bahwa mereka dapat memilih mereka ingin menjadi imam macam apa. Karier sebagai klerus adalah satu jalan, tidak peduli apapun yang ada, yaitu melayani imam dan kebutuhan imam. Imam itu ada dan perlu ada untuk melayani. Jalan ini, jika dilakukan secara terampil, dapat mengarah pada kelompok yang tersedia untuk dipilih sebagai pemimpin. Hampir semua pemimpin dalam Gereja ditunjuk dari kelompok ini oleh orang lain dalam kelompok ini juga, dan dari sinilah kebudayaan klerus itu bertahan.

Jalan lain, yang setahu saya dipilih oleh mayoritas imam dan bahkan beberapa uskup, adalah pelayanan pastoral, tidak pedulu seberapa jauh kelihatan “tidak profesional” dan serampangan, adalah tentang melayani umat dan kebutuhan umat. Untuk mereka dalam kelompok ini, pewartaan kasih Allah di tengah kekacauan dunia merupakan kegembiraan dan panggilan mereka. Mereka turut merasakan perjuangan keluarga-keluarga untuk bisa hidup wajar, orang-orang yang terperangkap dalam perkawinan yang tdak beres, mereka yang takut akan Allah atau yang takut akan kehidupan, para penganggur, penjahat, kaum miskin, para penderita, kaum tertindas, dan mereka yang menghadapi ajal. Imam-imam ini membawa semua ini ke altar salib dan kebangkitan Kristus.

Jalan ini juga penuh dengan lubang, hambatan, lika-liku yang berujung pada kebuntuan, dan kerusakan hidup. Semua ini menantang untuk maju. Bagi imam-imam kelompok ini, rasa malu muncul ketika mereka sadar bahwa mereka telah mengabdikan diri untuk menjadi wakil resmi dari sebuah lembaga yang sulit dilepaskan atau yang cenderung bertentangan secara destruktif, dan sering juga menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.

Kebanyakan imam tetap saja memendam rasa sedih, rasa dikhianati, dan rasa rusak secara moral. Mereka enggan memuntahkan semua ini kepada umat yang mereka layani. Dan hanya karena orang-orang yang dilayani itulah, para imam itu tetap bertahan.

Namun, akhirnya, perasaan-perasaan itu keluar dari jangkauan yang melampaui para imam itu sendiri. Kini, sifat bermuka tebal dari para uskup dan ketidakjujuran Vatikan dalam menghadapi pelecehan seksual dan bahkan banyak hal terkait dengan terjemahan liturgi, maka penderitaan para imam yang tak terucapkan itu menjadi penderitaan bersama yang semakin terasa oleh segenap umat Katolik di seluruh dunia.

Umat Allah kini sadar bahwa, di banyak aspek, para pemimpin Gereja tidak mempedulikan kita.

Jika Anda menganggap ini sebagai suatu penilaian yang keras, maka cobalah cari jawaban berbeda atas pertanyaan ini: Dalam sebuah Gereja yang mengajarkan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan Kristen,” mengapa kebiasaan-kebiasaan lama itu tidak berubah dan pentahbisan dibuat sedemikian ketat? Apakah ini justru mau memastikan bahwa setiap umat Katolik menikmati Ekaristi?

Ketika wajah Gereja itu menampilkan dirinya sebagai Gereja yang tidak paduli dan rusak, umat dan kaum muda akan semakin bertanya-tanya pada diri mereka sendiri: Mengapa harus bertahan? Jumlah semakin banyak yang akan menjawab: Tinggalkan Gereja! “Mantan Katolik” itu merupakan identifikasi keagamaan yang bertumbuh pesat di sejumlah negara. Ityu mungkin memuaskan sejumlah hirarki, termasuk Paus, yang ingin agar Gereja Katolik menjadi sebuah sekte elite yang lebih ramping, yang terdiri dari orang-orang yang mengabdi kepada suatu versi tertentu dari Gereja yang hingga kini bangga atas kebobrokan dari dalam, yang didefinisikan dengan istilah “Katolik” itu.

Namun, mayoritas umat Katolik, sebagaimana halnya mayoritas para imam, yang tidak akan meninggalkan Gereja Katolik. Meskipun di tahun-tahun yang lampau mereka mungkin tak pernah memikirkannya, namun kini secara mendalam mereka mungkin mempertimbangkan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Tetapi apa sesungguhnya yang masih bisa membuat mereka bertahan? Jelas bukan kebudayaan klerikal. Tetapi mengapa mereka juga tetap bertahan? Alasan bertahan mungkin bisa ditemukan dalam kehidupan umat Katolik seperti halnya Jim. Dia tetap bertahan dalam Gereja dan bertahan dalam imamat karena dia menemukan Kristus di tengah Umat Allah Katolik tersebut. Kristus yang dia layani dan wartakan itu adalah Kristus yang sama bagi dirinya dan bagi umat lainnya.

Jadi kenapa bertahan? Hanya untuk satu sama lain.

Oleh William Grimm

 William Grimm adalah seorang imam Maryknoll yang tinggal di Tokyo dan sekaligus penasehat UCA News. Dia adalah mantan pemimpin redaksi “Katorikku Shimbun,” mingguan Katolik di Jepang.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi