UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Warga suku Garo merasa beruntung masuk Katolik

Desember 27, 2012

Warga suku Garo merasa beruntung masuk Katolik

 

Satu setengah abad setelah suku Garo, Bangladesh menyaksikan konversi pertama menjadi Katolik oleh para misionaris, kini jumlah penganutnya terus berkembang.

Agama Katolik telah menjadi bagian besar dari pelestarian budaya suku Garo, kata Tapan Marak, seorang pemimpin dari kelompok minoritas adat ini.

Tahun 1910, orang-orang suku Garo pertama masuk Katolik, dan saat ini dari 120.000 warga Garo Bangladesh, 80 persen dari mereka adalah Katolik.

“Kami telah menemukan iman baru di dalam Kristus, tetapi kami tidak melupakan tradisi kami,” kata Marak.

Salah satu pengaruh positif kekristenan Barat pada suku Garo adalah pengenalan huruf Romawi yang digunakan untuk menerjemahkan bahasa Garo, yang sebelumnya tidak memiliki bentuk tertulis.

Saat ini, ada teks-teks liturgi dalam bahasa minoritas, serta lagu serta paper penelitian, dan anak-anak Garo belajar dalam bahasa mereka sendiri di sekolah dasar.

“Tanpa menganut agama Katolik, saya tidak berpikir orang-orang Garo bisa bertahan hidup dengan baik di dunia,” kata seorang pemimpin suku BF Rongdi.

Dari 45 etnis minoritas Bangladesh, Garo dianggap di antara yang paling terdidik dengan tingkat baca-tulis lebih dari 80 persen dibandingkan rata-rata nasional 65 persen.

Sekitar 16.000 dari suku itu telah bermigrasi ke Dhaka untuk mencari pekerjaan di mana mereka lebih baik dibandingkan mayoritas orang Bangladesh pedesaan yang menuju ke ibukota itu.

Banyak pria bekerja untuk LSM, sedangkan wanita cenderung bekerja di pabrik-pabrik garmen atau salon kecantikan di mana mereka sering meningkat dengan cepat dan tercatat bekerja keras.

Pekan lalu, 5.000 migran Garo berkumpul di Dhaka untuk merayakan festival tradisional panen mereka, Wangala, dengan Misa inkulturasi.

Promod Mankin, Menteri Negara Urusan Kebudayaan dan Menteri Kesejahteraan Sosial, yang bukan hanya satu-satunya anggota parlemen Garo di Bangladesh, ia juga satu-satunya orang Katolik di parlemen dan telah terpilih tiga kali.

Status meningkat dari suku Garo dalam masyarakat Bangladesh adalah bertentangan dengan reputasi suku itu yang hidup sebelumnya.

Hidup di lereng bukit di Bangladesh jaman modern dan di negara bagian Meghalaya, India selama berabad-abad, penjajahan Inggris, berlabel minoritas di Asia Selatan di sebuah bukit suku yang “keji dan haus darah”.

“Umat Hindu menganggap mereka sebagai suku barbar dan mayoritas Muslim mengeksploitasi mereka karena kesederhanaan mereka,” kata Suvash Jengcham, seorang penulis Garo, budayawan dan seorang Katolik. “Agama Katolik memberikan mereka harapan.”

Para misionaris Protestan bersikap keras terhadap suku itu, dan berupaya membasmi lagu-lagu dan tarian tradisional, serta minum bir beras ketika mereka memasuki wilayah Garo pada pergantian abad ke-20, kata Jengcham.

Sebaliknya, Gereja Katolik mencoba menggabungkan ajarannya ke dalam tradisi suku itu.

“Para misionaris asing dan lokal selain mendirikan gereja-gereja, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah dan asrama untuk pendidikan, kata Pastor Robert Makhin, yang menulis sebuah buku tentang sejarah orang-orang Garo di Bangladesh.

“Yang paling penting adalah membantu mereka melestarikan budaya dan tradisi Garo di Gereja,” katanya.

Garo adalah salah satu kelompok etnis matriliniel paling langka di dunia berdasarkan sistem keluarga perempuan di mana ayah akan pergi mencari nafkah dan ibu akan tinggal di rumah mengurusi rumah tangga dan karena itu dianggap sebagai kepala keluarga. Hingga saat ini, anak-anak Garo masih menggunakan nama ibu mereka.

Sumber: Tribe mixes tradition with the Bible to preserve way of life

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi