UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pastor Flores taklukkan Swiss

April 1, 2013

Pastor Flores taklukkan Swiss

 

Dunia sudah  jungkir balik dimana 40 tahun silam misionaris Swiss dikirim ke Nusantara, tapi  kini justru pastor Indonesia bertugas di Swiss.

Berikut kisah Romo Albert Nampara, satu dari empat pastor Indonesia yang  bertugas di Heidiland, Swiss.

Musim dingin belumlah berlalu di Swiss, bahkan sedang berada dititik puncaknya. Tidak terkecuali di desa Menzingen. Salju menumpuk setinggi paha, suhu anjlok hingga 6° celcius di bawah nol. Namun, semua itu tidak menghalangi Romo Albert, pastor asal Ruteng, Flores, yang  sedang memimpin upacara pemakaman di pekuburan desa itu.

Suaranya tetap lantang, jernih dan terukur. Sesekali tangannya mengusap rambutnya yang mulai basah karena salju. Buku doa juga dikibas-kibaskan jika butiran salju lembut itu mulai menyentuhnya.

“Kasihan dia, pasti kedinginan, ” desis seorang pelayat, sebagaimana dilansir SINDO. Romo Albert Nampara, saat itu, memang tidak mengenakan pakaian musim dingin yang hangat. Sebatas  jubah misa panjang krem menutupi sweaternya.

“Bukan cuaca yang menjadi kendala utama,” tuturnya usai pemakaman. “Tapi bagaimana mengajak umat, khususnya anak anak muda, kembali ke gereja,” imbuhnya.

Swiss, juga seperti umumnya negara mapan di Eropa, memang mulai kehilangan umat yang rajin ke gereja. Hampir sebagian besar gereja di Swiss, sering terlihat lengang. Jika pun ada yang datang, kebanyakan hanya orang orang tua. Hanya pada saat tertentu, menjelang Natal, misalnya, gereja terlihat penuh.  Tidak mengherankan jika anak anak muda yang ingin menjadi pastor, juga berkurang, bahkan terbilang mengkhawatirkan.  Sementara pastor senior mulai pensiun, bahkan meninggal dunia.

“Swiss juga akhirnya kekurangan pastor,” ungkap Franz Daehler, mantan pastor asal Appenzeller yang fasih berbahasa Indonesia.

Kondisi kekurangan pastor inilah yang membuat Swiss akhirnya mengimpor penggembala umat katholik dari negara lain, tidak terkecuali dari Indonesia. Tercatat 250 pastor impor bertugas di Swiss, dari Afrika, Eropa, dan tidak  terkecuali Indonesia.

“Selain saya, masih ada tiga pastor  Indonesia lain yang bertugas di Swiss,” kata Romo Albert. Dan umumnya, pastor pastor made in Indonesia itu sangat disukai masyarakat Swiss.

“Orangnya ramah sekali,  beda dengan pastor dari negara lain,” tutur salah satu warga setempat. Dalam perjalanan dari pemakaman ke sekretariat gereja, Albert mesti sabar menyalami atau membalas sapaan warga.

Hoi, Albert, wie gohts (apa kabar),” sapa beberapa warga desa. Romo Albert pun membalasnya dengan ramah, sekaligus berbincang sejenak.  Panggilan nama depan  (Albert) , bukan nama belakang (Herr Nampara), menunjukkan keakraban yang lebih kental ketimbang biasa.

“Saya bahkan sering diundang makan siang atau malam oleh warga sini,” kata Romo Albert.

Orang asing di Swiss umumnya agak sulit diterima terbuka di negara ini. Jikapun diterima terbuka, perlu waktu agak lama. “Semua saya serahkan Tuhan,” katanya diplomatis.  Penyerahan itu tidak sebatas berdoa, namun juga dilakukan dengan kerja keras.

“Mulanya saya dekati anak anak kecil yang ke gereja, saya ajak main musik, dan akhirnya mereka senang. Kalau sudah demikian pasti orang tuanya juga akan ke gereja,” kisahnya.

Romo Albert yang berbakat menyanyi, sekaligus bermain gitar, akhirnya diterima luas di desa ini. “Musik itu jembatan, disitulah salah satu cara saya mendekati umat,” tuturnya.

Dalam setiap Misa, Albert selalu memainkan salah satu instrumen musik. Kadang gitar, harmonika, bahkan juga saxophone. Jika biasanya gereja di Swiss hanya diiringi orgel atau piano, ketika Romo Albert menjadi pastornya, maka akan muncul bunyi gitar, harmonika atau saxophone.

“Orangnya ramah, tulus dan pintar main musik, dia memang luar biasa untuk desa kami,” ungkap salah satu warga desa yang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Partai Kanan pun Mendukungnya

Tidak sulit mencapai Menzingen. Pembangunan Swiss yang merata, membuat desa kecil di atas bukit ini bisa dicapai dengan kereta, bus, atau mobil pribadi. Hanya saja, jika bermobil, harus siap merambah jalan aspal yang berliku menembus hutan pinus, perbukitan, dan areal pertanian, barulah sampai ke Menzingen.

Seperti bentang alamnya, Menzigen dikuasai petani tradisional. Jika sebuah desa dikuasai petani, bisa dipastikan, partai politik yang berkuasa adalah Schweizerische Volkspartei (SVP), sebuah kekuatan politik yang berhaluan kanan, alias parpol yang anti orang asing.  Di desa dengan parpol yang tak ramah dengan pendatang inilah, sejak empat tahun silam, Pastor Albert Nampara ditempatkan. “Saya merasa kerasan disini, sangat kerasan,” katanya.

Ini di sebuah restoran setempat. “Anda rekan sebangsa Romo Albert, oh, apa kabar?” tutur seorang laki paruh baya yang duduk di Stamm Gaste, meja khusus bagi penduduk lokal. Tak ada pandangan yang mencurigai orang asing, sebagaimana umumnya resto di Swiss. Bahkan, salah seorang anggota partai SVP yang keberatan namanya dikorankan, meyakini jika Romo Albert ingin menjadi warga negara Swiss, penduduk setempat akan mendukungnya.  Umumnya pendatang yang ingin menjadi warga negara Swiss, ditentukan melalui referendum di balai desa.

“Ia bagian dari kami, bukan sebagai orang asing,” imbuhnya.

Martin Gadient, rekan sekantor Romo Albert, tidak memungkiri jika laki-laki asal Ruteng itu, diterima dengan terbuka di Menzingen.

“Dia mendapatkan banyak simpati, juga dari orang orang yang skepstis dengan orang asing,” katanya. Romo Albert, imbuh Martin, memperhatikan sungguh sungguh pribadi umatnya. “Dia lebih banyak kenal penduduk desa ini lebih detail ketimbang saya,” katanya. Gaya kotbah Romo Albert di atas mimbar gereja Saint Johanes, imbuh Martin, juga istimewa.

“Tidak rumit seperti pastor Swiss, Romo Albert sering menyelipkan humor dan juga bermain musik,” timpalnya.

Romo Albert,  dalam salah satu misanya, tak malu malu mengisahkan ibunya di Ruteng, yang sudah rentah dan sakit sakitan.  “Ibu di kampung minta didoakan,” kisahnya.

Romo Albert pun berjanji akan mendoakan ibunya. “Doakan aku cepat mati,” kata Romo Albert menirukan permintaan ibunya. Meski kisah yang getir, karena diselipi humor,  pengunjung misa yang biasanya tertib pun, tak bisa menahan tawa.  “Kalau doa untuk sembuh saya bisa mintakan Tuhan, kalau mati tidak,” katanya.

Romo Albert juga membentuk grup musik, bersama anak anak muda Menzingen. Jangan kaget, yang dinyanyikan adalah lagu tradisional Swiss, yang biasanya memuji petani, gunung atau makanan Swiss. Dengan bahasa lokal, petani yang konservatif di Menzingen akhirnya kagum terhadap Romo Albert.

“Latihan kadang juga di rumah mereka, otomatis saya akhirnya juga dekat dengan keluarganya,” imbuh Romo Albert. Orang tua anak anak itu, kata Romo Albert, berterima kasih lantaran anak anaknya akhirnya mau kembali dekat dengan Tuhan.

“Ini yang membuat saya sangat bahagia,” katanya. Di Swiss, yang dikenal sangat tertutup kepada orang asing, bisa sampai diundang ke rumahnya, adalah sebuah terobosan.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi