UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perempuan di Aceh Utara dilarang menari di depan umum

Mei 28, 2013

Perempuan di Aceh Utara dilarang menari di depan umum

Tarian Ranup Lampuan

 

Pemerintah di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nangroe Aceh Darusallam mengeluarkan imbauan selama akhir pekan, tentang larangan menari di depan umum bagi perempuan dewasa karena dinilai bertentangan dengan syariat Islam (SI) yang berlaku di daerah itu.

Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mengatakan, tarian, seperti dalam acara penerimaan tamu yang dihadiri banyak laki-laki, sebaiknya dilakukan oleh anak-anak yang belum akil baliq berdasarkan SI. Meski mengakui tarian sebagai salah satu warisan budaya di Aceh, namun kata dia, tarian oleh perempuan dewasa, bertentangan dengan syariat.

“Pelestarian budaya jangan sampai merusak nilai-nilai syariat Islam, seperti tarian oleh perempuan dewasa,” kata Thaib dalam sebuah acara seremonial di Krueng Geukuh, Aceh Utara, Sabtu, (25/5).

Thaib mengatakan, larangan ini sesuai semangat pelaksanaan SI yang didambakan masyarakat Aceh Utara. Alasannya, semua pelanggaran syariat harus dicegah. Jika seorang pemimpin tidak mencegah, katanya, pemimpin itu akan dianggap sebagai pemimpin zalim.

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara mendukung imbauan tersebut dan menyebut menari sebagai ‘sebuah maksiat berlabel haram’.

Mustafa Ahmad, Ketua MPU Aceh Utara mengatakan, dalam Islam, perempuan dewasa dilarang menari di depan laki-laki. Ia mengacu pada Hadist Turmizi, yang menjelaskan adanya 15 larangan bagi kaum perempuan yang dapat mengundang musibah dan malapetaka.

“Satu poin di antaranya disebutkan wanita dewasa dilarang menari di hadapan kaum lelaki. Wanita di sini adalah perempuan akil baliq atau sudah disukai oleh laki-laki,” kata Ahmad seperti dilansir media lokal Atjehlink.com.

Tarian yang dimaksud, katanya, bukan hanya tarian Aceh Ranup Lampuan (tarian yang sering ditampilkan saat menyambut tamu – red), tapi semua tarian yang diperagakan dengan menggerakkan anggota tubuh yang dilakukan perempuan dewasa.

“Tarian-tarian seperti itu haram karena sudah mengarah ke pekerjaan maksiat,” katanya.

Bahkan, menurut Ahmad, tari Saman, salah satu tarian terkenal di Aceh yang pada 2011 sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya khas yang perlu dilestarikan, sudah termasuk haram karena pergerakannya berlebihan dalam memainkan anggota tubuh.

”Kami sebagai pemberi saran bidang agama sangat mendukung bupati bila ini diterapkan. Dan, kalau ini perlu jalan, maka bupati harus menuangkan ke dalam satu bentuk aturan seperti qanun (istilah bahasa Arab yang berarti hukum, aturan – red),” ujarnya.

Langkah pemerintah Kabupaten Aceh Utara ini ditentang keras oleh aktivis perempuan dan tokoh muslim perempuan.

Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan menyatakan, asumsi di balik larangan itu bahwa tarian perempuan dewasa dikaitkan dengan erotisme patut dipertanyakan.

“Selain bentuk penghakiman moral yang tak henti pada perempuan, juga akan mengkerdilkan kekayaan kultural Aceh yang dicipta oleh pendahulunya”, kata Chuzaifah kepada ucanews.com, Senin (27/5).

Menurutnya, asumsi seperti itu tidak bisa mendorong pembentukan aturan yang sama sekali bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap hak perempuan, lalu menggunakan  agama untuk menjustifikasinya.

“Itu bentuk penyanderaan agama dengan cara yang sempit, yang pada akhirnya menghentikan kreatifitas kultural Aceh. Ini juga bentuk kesewenang-wenangan penguasa untuk mengatasnamakan agama dan mengorbankan perempuan”, katanya.

“Pemimpin seharusnya patuh pada demokrasi, baik kepala daerah, parlemen atau tokoh agama, harusnya berkonsultasi dengan rakyatnya dalam membuat keputusan, mendengar aspirasi publik”, lanjut Chuzaifah.

Sementara itu, Dwi Rubiyanti Kholifah, direktur Asian Moslem Action Network (AMAN) untuk Indonesia mengatakan, implementasi SI di Aceh sudah jauh melenceng dari tujuan kemaslahatan umat.

“Saya orang yang tidak setuju syariat itu dipakai sebagai sistem hukum karena sangat rawan bias laki-laki, apalagi terbukti bahwa laki-laki yang paling banyak menduduki tempat-tempat pengambilan keputusan. Kecenderungan implementasi syariat sebagai sistem hukum di sebuah negara atau masyarakat akan sangat menyasar tubuh perempuan”, katanya.

Ia menjelaskan, larangan menari di publik itu sangat merepresi hak perempuan. “Bukan hanya lekukan tubuh perempuan di publik, sebentar lagi suara pun bisa dianggap haram di Aceh”, jelasnya.

Menurutnya, pemerintah di Aceh salah kaprah dalam menginterpretasikan hukum shariah.

“Islam hanya dibawa pada ranah simbol-simbol semata dan menghilangkan subtansi. Lebih baik hukum shariah itu dialamatkan saja pada hal-hal yang terkait kemiskinan, korupsi dan membangun toleransi,” jelasnya.

“Ada banyak ajaran islam yang sebenarnya sangat baik dan bisa bermanfaat buat orang banyak tanpa harus memandang agama, etnik dan golongan apapun. Mengapa yang diambil justeru yang menimbulkan kontroversi?,” tambah Kholifah.

Wacana dikeluarkannya peraturan kontroversial yang secara khusus melarang perempuan di Aceh bukan kali ini saja.

Pada Januari lalu, Suaidi Yahya, Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan peraturan yang melarang perempuan duduk mengangkang saat berboncengan di sepeda motor.

Selain itu, sebelumnya, pada Januari 2009, di Aceh Barat juga pernah diwacanakan larangan bagi perempuan untuk menggunakan celana, dan hanya dibolehkan menggunakan rok.

Namun, wacana dan aturan yang membatasi kebebasan perempuan tersebut dengan dalih pelaksanaan SI – yang berlaku sejak 2001 di Aceh – tidak terlaksana.

Ryan Dagur, Jakarta

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi