- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Suster Eustochia bantu perempuan, anak korban kekerasan

 

Pada suatu pertemuan yang diikuti oleh 50 ibu rumah tangga beberapa tahun lalu, Suster Eustochia Monika Nata SSpS bertanya siapa yang belum pernah dipukul oleh suami. “Hanya dua orang. Ya, semua mengalami kekerasan,” kenangnya.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Pulau Flores yang berpenduduk sekitar 1,8 juta mungkin biasa terjadi karena budaya patriarkat.

Pengalaman semacam itu, dan bahkan banyak pengalaman lainnya, membentuk Suster Eustochia yang berbasis di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Semua berawal tahun 1997, ketika ia berperan aktif dalam program pendampingan untuk ibu rumah tangga yang mengalami KDRT. Saat itu belum ada data sistematis tentang jumlah korban KDRT – ia hanya tergerak oleh penderitaan orang-orang yang datang ke biara untuk meminta bantuannya.

Lalu tahun 1998, seorang imam dari Serikat Sabda Allah (SVD) membawa seorang gadis yang dihamili oleh ayahnya sendiri ke biara. “Waktu itu memang saya merasa mengalami kekerasan, terus diintimidasi. Mereka merasa saya culik anak itu karena kami sembunyikan anak itu di biara,” kata Suster Eustochia.

Menyusul terbentuknya Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F) pada Februari 1999, karya suster menjadi semakin sibuk. Referendum yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuntut kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Akibatnya, milisi Indonesia mengamuk sehingga ratusan orang meninggal serta infrastruktur dan sejumlah bangunan hancur.

Sekitar 250.000 orang mengungsi ke Indonesia, beberapa lari ke pelukan Suster Eustochia. “Saya mulai melihat bagaimana perempuan itu diperkosa, dijual oleh suami mereka. Sejak itu saya mulai tergerak, perempuan-perempuan itu kelihatan sangat menderita. Saya waktu itu sering menangis … mengapa begini?” tanyanya. “Akhirnya saya mencoba menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.”

Tiga-belas tahun kemudian, keamanan terhadap perempuan di Flores masih belum membaik. (Menurut data tahun 2012 dari TRUK-F, 155 perempuan dan anak-anak berumur antara empat dan 70 tahun menjadi korban KDRT dan seksual serta perdagangan manusia.)

Segelintir LSM telah berperan dalam pendampingan bagi para korban kekerasan, namun sumber daya mereka terbatas. Suster Eustochia sadar bahwa masih banyak yang harus dilakukan.

Hasil survei yang dilakukannya terhadap 652 pelajar dari lima sekolah menengah atas di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, mendapati bahwa hampir semua pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orangtua mereka – verbal, fisik dan bahkan pemerkosaan.

Ia melaporkan survei itu kepada Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang saat itu sudah menjadi partner TRUK-F.

Beberapa komisioner dan pejabat pemerintah pusat pun mengunjungi kota kabupaten itu dan menjelaskan kepada Suster Eustochia bahwa ini adalah kasus pertama yang mereka dengar di Pulau Flores. Sebelumnya belum pernah terungkap kasus-kasus kekerasan seperti itu.

“Di sinilah awal perjuangan untuk mengadakan Perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan,” kata Suster Eustochia. Setelah melewati beberapa pertemuan, anggota DPRD Kabupaten Sikka merampungkan rancangan Perda pada Juli 2012, dan bupati Sikka saat itu mengesahkannya pada 31 Desember.

Banyak harapan muncul setelah disahkannya Perda yang mewajibkan pemerintah setempat untuk terlibat dan membantu LSM dalam penanganan kasus-kasus kekerasan – termasuk pemberian pelayanan kesehatan, nampaknya dana masih menjadi kendala.

Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, yang baru dilantik Juli lalu, mengatakan bahwa Perda itu adalah yang pertama. Ia mengakui bahwa Perda itu penting. Namun “kami masih mensosialisasikannya kepada masyarakat bekerjasama dengan LSM.”

Sosialisasi ini memberi sedikit penghiburan bagi para korban kekerasan. Namun masih disosialisasikan berarti belum ada manfaat yang bisa dirasakan, misalnya oleh seorang korban pemerkosaan.

“Saya hanya didampingi TRUK-F,” kata gadis berumur 14 tahun yang biasa dipanggil Ber, seorang korban pemerkosaan yang dilakukan oleh enam pria. Ia tinggal di kantor TRUK-F, yang menjadi tempat penampungan, sejak delapan bulan lalu. “Saya berharap pemerintah bantu kami, melindungi kami. Perda segera direalisasikan.”

Kini Suster Eustochia berusia 70 tahun dan telah didiagnosa menderita kanker rahim sejak lima tahun lalu. Namun semangatnya tidak pernah padam. Ia saat ini sedang melobi para legislator setempat untuk menyusun Perda tentang perdagangan manusia.

“Untuk saya, korban itu wajah Kristus. Itu saja. Saya tidak peduli waktu saya sakit … jika ada korban, saya harus keluar menemui mereka. Saya pikir ini Yesus yang mengunjungi saya,” katanya.

Katharina Reny Lestari, Jakarta

Sumber: Sister plays part of mothers’ little helper [1]