UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pemerintah menjadi salah satu faktor pemicu konflik

April 25, 2014

Pemerintah menjadi salah satu faktor pemicu konflik

Romo Antonius Benny Susetyo

 

Eskalasi konflik di Indonesia diprediksi masih akan terus meningkat pada masa-masa mendatang. Apalagi, ada catatan panjang tentang ketidakhadiran negara dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat.

Diperlukan kepala daerah yang komunikatif dan peka terhadap masalah daerah masing-masing. Konflik bisa terjadi akibat pembangunan yang timpang, akar kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan pembangunan, yang langsung maupun tak langsung turut menyebabkan kekerasan dalam komunitas-komunitas agama dan etnis.

“Untuk itu, harus dikembalikan lagi peranan, tugas, dan kewajiban kepala daerah sebagai pelayan masyarakat, bukan pelayan partai. Kepala daerah berkewajiban menjaga dan memelihara kerukunan warga,” ujar Romo Antonius Benny Susetyo dalam Workshop dan Focus Group Discussion yang digelar Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata dan United Board for Christian Higher Education in Asia di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/4/2014).

Menurut data Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), terjadi 104 konflik sosial selama Januari hingga November 2012. Dari jumlah itu, bentrokan antarwarga merupakan pemicu konflik sosial yang paling besar mencapai 33,6 persen, disusul isu keamanan sebanyak 26 kali peristiwa atau 25 persen.

Pemicu lain adalah sengketa lahan dan konflik organisasi kemasyarakatan masing-masing sebanyak 13 peristiwa atau 12,5 persen. Sedangkan, isu SARA hanya 10 peristiwa atau 9,6 persen sebagai pemicu konflik. Isu kesenjangan sosial hanya satu peristiwa serta konflik pada institusi pendidikan dan ekses konflik politik masing-masing tiga peristiwa.

“Poso dan Ambon akan terus berpotensi konflik jika persoalan tanah tidak terselesaikan. Umumnya, negara melakukan pembiaran. Aparat tidak bergerak untuk mencegah terjadinya konflik,” tuturnya.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola mencatat tiga langkah sebagai solusi konflik komunal yang terus mendominasi kekerasan di Indonesia pada masa lalu dan masa datang.

“Untuk jangka pendek, keamanan harus ditegakkan dengan menangkap dan mengeluarkan para provokator di wilayah konflik. Untuk jangka menengah, sumbu sentimen agama dan suku, yang selama ini terus tersulut, perlu didinginkan. Caranya dengan mengajak masyarakat untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fundamental paling mulia di atas nilai yang lain,” ujarnya.

Solusi jangka panjang, ujar Tamrin, perlu dilakukan perubahan kebijakan publik yang dapat menjadi sumber konflik. Penegakan keadilan di semua bidang harus menjadi yang utama.

Workshop dan Focus Group Discussion yang digelar pada 24 hingga 25 April itu bertajuk “Menggagas Pembelajaran dan Kurikulum di Fakultas Hukum untuk Penanganan Konflik Sosial melalui Pendidikan dan Dialog Inter-Kultural”.

Acara dihadiri beberapa perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yakni Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), IAIN Wali Songo, Universitas Wahid Hasyim, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Semarang, Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY).

Pertemuan lintas universitas itu adalah serial kelanjutan dari penelitian yang diadakan oleh Tim Unika Soegijapranata dengan judul ‘Intercultural Dialog and Education in Indonesia: Encountering Social Conflict with Reconciliation and Peace Building Initiative in Law School Curricula.’

Dalam kegiatan itu juga dilakukan tukar pandangan tentang pembelajaran untuk menggagas upaya mencari alternatif pendidikan dalam rangka menangani konflik sosial dari masing-masing fakultas hukum.

“Salah satu elemen penting kegiatan ini adalah menganalisis isi satuan acara perkuliahan (SAP) dan silabus di fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia. Apakah SAP itu telah memasukkan alternatif penyelesaian konflik antaretnis dan antarumat beragama, baik dalam bentuk rekonsiliasi atau mediasi di dalam kurikulum,” ujar Ketua Panitia Workshop Rika Saraswati, yang juga kandidat doktor hukum dari University of Wollongong, Australia. (Beritasatu-suarapembaruan)

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi