UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Dialog terbuka Papua-Jakarta diperlukan demi Papua Tanah Damai

Mei 22, 2014

Dialog terbuka Papua-Jakarta diperlukan demi Papua Tanah Damai

 

Seluruh cermin persoalan sosial dan politik di Papua akibat perlakuan yang tidak adil dari pemerintah Indonesia melalui kebijakan marginalisasi dan diskriminasi terhadap Papua mengemuka dalam sebuah konferensi pekan ini di Papua.

Konferensi Nasional VI Jaringan Antariman Indonesia itu diadakan pada 19-24 Mei di Hotel Sentani Indah, Papua, bertajuk “Upaya Masyarakat Papua memajukan Papua Tanah Damai, Telaah Kritis terhadap Kemajuan, Tantangan, Harapan: Suara dari Tanah Papua.”

Dalam merespon fakta sosial politik Papua yang sangat mendambakan terselenggaranya dialog antara Papua dan Jakarta agar terwujud Papua Tanah Damai, Kasdam Cendrawasih Brigjen TNI Hinsa Siburian mewakili Jenderal Moeldoko (Panglima TNI RI) justru sangat bertolakbelakang dengan upaya-upaya dialog.

Menurutnya, dialog akan sangat tergantung dari sudut pandang siapa. Bagi kami, sebagai alat negara, dialog politik sudah terlambat. Selesai. Sebab, Papua menjadi wilayah NKRI yang diakui PBB. Jadi secara politik sudah sah dari segi hukum, undang-undang, termasuk hukum internasional (PBB) Papua bagian dari Indonesia.

Maka, katanya, yang diperlukan sekarang adalah membangun kesejahteraan. Jika ingin melakukan dialog, hal itu memungkinkan melalui otonomi khusus dimana masyarakat bisa menggunakan berbagai jalur atau sarana untuk membicarakan setiap permasalahan kesejahteraan yang ada di masyarakat.

Ia mengatakan, “Papua sama seperti wilayah-wilayah Indonesia yang status hukum dan politiknya adalah tertib sipil. Sehingga, fungsi kami sebagai TNI melakukan pembinaan teritorial dan membantu serta melindungi masyarakat agar tidak terganggu. Kami mengambil peran agar Papua damai. Karena itu operasi yang dilakukan kami, TNI, adalah trust building dengan pendekatan terhadap masyarakat.”

Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menentang penolakan Kasdam tersebut untuk membuka dialog politik antara Papua dan Jakarta.

Bagi Azra, membangun Papua Tanah Damai, maka dialog adalah satu-satunya jalan. Bagaimanapun harus ada pihak pemerintah yang mau berdialog dengan tokoh-tokoh atau pihak-pihak yang berkonflik. Demi terciptanya perdamaian, pemerintah tidak perlu merasa rendah diri dengan melakukan dialog dengan pihak-pihak tersebut.

Namun, Azyumardi memberikan catatan: perlu terobosan-terobosan bentuk dialog, sebagaimana pernah dilakukan Jusuf Kalla di Aceh. Karena itu, pemerintahan yang akan datang, yang terpilih dalam pemilu nanti menjadi tumpuan harapan terhadap langkah-langkah progresif mengambil bentuk dialog untuk Papua Tanah Damai.

Markus Haluk, Ketua Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah, Papua,  menjabarkan bahwa kompleksitas dan berlapisnya masalah di Papua menjadi tantangan yang tidak mudah untuk menciptakan Papua Tanah Damai.

Menurutnya, distorsi sejarah, pelanggaran HAM, dan tingginya ketimpangan pembangunan wilayah Papua yang menyebabkan perekonomian dan pendidikan masyarakat di bawah garis kemiskinan adalah beberapa pokok persoalan, dari banyak persoalan yang ada.

Sayangnya, katanya, pemerintah Indonesia menutup kemungkinan dialog yang terbuka. Jalan kekerasan menjadi pilihan pemerintah menyelesaikan masalah di Papua. Padahal, kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan.

Fien Jarangga, aktivis perempuan Papua, mendeskripsikan situasi ketidakadilan yang sama yang dihadapi warga Papua. Jika pemerintah Indonesia punya niat baik untuk berdialog, maka suara perempuan Papua yang menderita bertahun-tahun harus dilibatkan.

Ia mengatakan dialog itu harus memberikan ruang agar korban kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan diberi ruang untuk bersuara. Tujuannya adalah mendengar dari mereka kepentingan dan pilihan dalam merealisasikan kehidupan yang baik untuk ibu dan anak.

Sementara itu Pendeta Herman Saud menjelaskan bahwa misi agama-agama dalam menciptakan persekutuan adalah untuk mewujudkan perdamaian. Karena itu, agama-agama di Tanah Papua secara tegas menolak pihak-pihak yang terus membuat Papua bergejolak, termasuk terhadap orang-orang Indonesia yang jiwanya bukan Indonesia, karena menolak prinsip dasar negara ini, Bhinneka Tunggal Ika.

Pendeta Saud menegaskan agar para pemimpin agama, masayarakat, dan politik di Papua menghargai perbedaan sesuai dengan semangat UUD’45.

Untuk dapat menghidupkan damai, ujar Herman Saud, harus bisa menghargai terlebih dahulu orang lain, yakni lain dan berbeda dalam pekerjaan, agama, ideologi politik, dan sebagainya.

Sementara itu Pastor Pius, mengatakan bahwa situasi darurat itu sampai pada praktik-praktik yang mengarah genosida terhadap orang Papua  sehingga populasi mereka di tanahnya sendiri tidak sampai 50 persen dari seluruh penduduk Papua.

Past0r Pius kembali mengingatkan bahwa hal tersebut sebagai ancaman kebhinnekaan. Pemerintah Indonesia sendiri mengkianati Bhinneka Tunggal Ika.

Warga Papua, tambahnya, sudah tidak lagi percaya kepada anggota-anggota DPR RI yang berasal dari Papua. “Mereka sudah tidak bisa lagi bicara jujur tentang apa yang terjadi di Papua.”

Artikel ini dikirim oleh Elga Sarapung, koordinator Jaringan Antariman Indonesia di Papua.

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi