UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Mempertahankan kemanusiaan di era individualisme

Juni 16, 2014

Mempertahankan kemanusiaan di era individualisme

 

Kelompok pengunjuk rasa telah mengadakan serangkaian demonstrasi menyusul bencana feri pada 16 April yang menewaskan lebih dari 300 orang. Pada akhir pekan, para relawan juga berkumpul di kawasan tersibuk ibukota Korea Selatan untuk menggalang dana bagi keluarga-keluarga yang terkena dampak bencana tersebut.

Pada sebuah kesempatan pekan lalu, seorang pria tunawisma muncul bersama sekelompok pengunjuk rasa di kawasan Hongdae, Seoul. Dia duduk di tanah sambil memegang lilin bernyala, mungkin berharap bahwa orang-orang yang lewat bisa menyisihkan untuk dia satu atau dua koin dari sisa uang yang mereka sumbangkan bagi korban feri.

Para tunawisma di Seoul umumnya berkumpul di sekitar stasiun kereta api di pusat ibukota itu, tetapi kebanyakan orang kurang peduli – dengan sebuah pengecualian.

Di pinggiran ibukota itu, Pastor John Oh Woong-jin mendirikan sebuah komunitas tunawisma tahun 1976 yang disebut Kkottongnae, sebagai tempat pertemuan untuk orang tunawisma.

Sepuluh tahun kemudian, komunitas itu menjadi sebuah Kongregasi setelah secara resmi diakui oleh Vatikan dan menggunakan nama Saudara-saudara Yesus dari Kkottongnae.

Pastor Oh mengunjungi Paus Fransiskus tahun lalu di Roma, dan Paus akan menanggapi kunjungan itu selama perjalanannya ke Korea Selatan dari 14-18 Agustus.

“Ia bertemu kami selama 40 menit,” kata Pastor James, superior kongregasi itu, tentang audiensi dia dengan Paus Fransiskus. “Pertemuan itu dua kali setelah ia menghabiskan waktu dengan presiden Israel.”

Kongregasi itu mengirimkan para relawan ke stasiun kereta api setiap Selasa malam untuk mengumpulkan para tunawisma, orang sakit dan orang cacat dari jalan-jalan dan membawa mereka ke tempat penampungan Kkottongnae untuk memberikan makanan dan menyediakan tempat tinggal sementara.

Banyak orang yang paling membutuhkan menderita alkoholisme dan memerlukan pengobatan untuk kecanduan mereka. Kkottongnae dapat menampung lebih dari 200 orang di pusatnya, sekitar satu setengah jam di luar Seoul.

“Modernisasi telah memperketat percepatan di dunia profesional. Untuk mengimbangi, kita perlu terus beradaptasi, dan tidak semua orang bisa melakukan itu,”  kata Pastor James.

Dalam masyarakat tradisional Korea, badan sosial itu ada di berbagai bidang – rumah, keluarga dan agama – untuk membina identitas individu. Badan ini juga melayani sebagai jaring pengaman sosial.

Dalam masyarakat modern, orang menciptakan ikatan sosial mereka sendiri dan membangun identitas otonom. Era individualisme ini adalah pendekatan yang lebih fleksibel, tetapi juga lebih rapuh.

“Untuk mengelola kehidupan kita sendiri secara independen bukanlah latihan yang cocok untuk semua orang, dan banyak orang dalam perjuangan hari-hari ini akhirnya dibuang oleh mekanisme kompetitif masyarakat modern. Tidak ada jaring pengaman untuk melindungi mereka, dan dari hari ke hari mereka dapat menemukan diri mereka sendiri dan ditinggalkan,” kata Pastor James.

Kesenjangan sosial utama saat ini bukan di antara kaya dan miskin tetapi antara orang-orang yang dapat mengandalkan dukungan keluarga dan sosial di saat kesulitan, dan mereka yang ditinggalkan oleh keluarga mereka dan masyarakat.

Banyak orang yang ditinggalkan dapat ditemukan mengemis di jalan-jalan atau tidur di sekitar tempat penampungan apa yang filsuf Marc Auge menyebut “non-lieu“, atau tak bertempat, seperti stasiun kereta api dan terminal bus.

Di tempat-tempat seperti itu, mereka memiliki ruang untuk bernapas tetapi sedikit lain. Harapan hidup mereka hanya sekitar 45 tahun. Sebaliknya, harapan hidup di Republik Afrika Tengah, yang sekarang penuh dengan kekerasan sektarian dan pertumpahan darah, adalah 48,5 tahun.

Mengingat bencana feri, seseorang harus bertanya bagaimana kita mendefinisikan tragedi.

“Tragedi feri Sewol, di lepas pantai barat daya Semenanjung Korea, yang terjadi di daerah yang secara geografis jauh dari kita, namun dekat dengan hati kita,” kata Pastor James.

“Berita televisi dan surat kabar berbicara tentang tragedi itu secara terus-menerus di Korea, dan kematian ratusan jiwa orang muda mempengaruhi kita semua,” katanya.

“Tetapi, orang-orang tunawisma di jalanan secara fisik dekat dengan kita, namun mereka tidak tersentuh oleh hati nurani kita. Kita terbiasa dengan gagasan bahwa tubuh-tubuh ini – hampir tak bernyawa — yang meninggalkan diri mereka sendiri untuk membusuk pada nasib mereka yang tak terelakkan.”

Dengan berdiri di antara orang bernasib malang dan bernasib baik adalah para relawan dari Kkottongnae. Jika dirawat, dipulihkan dan ditempatkan di lingkungan sipil yang mengembalikan martabat orang tersebut, orang-orang itu yang tak nampak dalam sebuah pemandangan kehidupan perkotaan.

Mereka melarikan diri dari cengkeraman alkoholisme dan kembali bekerja, menemukan kembali harga diri dan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka. Jika mengingat kondisi minimum untuk berkembang, mereka akan berkembang. Tentu saja tidak semua dari mereka, tapi beberapa membuat dari mereka kembali ke masyarakat. Mereka mampu membangun kembali kehidupan mereka dan melarikan diri dari sebuah negara yang penuh pengabaian.

Mungkin lilin yang dipegang oleh pria tunawisma selama demonstrasi bencana feri itu bukan hanya upaya cerdas untuk mengamankan sedekah, tapi tanda bahwa meskipun penampilan fisik miskin dan tertindas, masih ada semangat dalam berjuang untuk bertahan.

Dan apabila diabaikan maka ia bisa padam di tengah tiupan angin.

Cristian Martini Grimaldi adalah wartawan lepas  berbasis di Korea Selatan

Sumber: UCA News

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi