UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Kelompok minoritas sambut kemenangan Jokowi berdasarkan quick count

Juli 10, 2014

Kelompok minoritas sambut kemenangan Jokowi berdasarkan quick count

 

Gubernur DKI Jakarta non-aktif Joko Widodo atau Jokowi nampaknya memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) yang berlangsung Rabu, 9 Juli, setelah dikeluarkannya hasil perhitungan cepat atau quick count oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS)-Cyrus Network.

Jokowi memperoleh suara 51,9 persen, sementara calon presiden nomor urut 1, Prabowo Subianto, memperoleh 48,1 persen.

“Sekarang saatnya kita untuk mengawal rekapitulasi di KPUD maupun KPU agar semuanya bersih, jujur, tidak ada intervensi,” kata Jokowi saat konferensi pers di Jakarta.

Sekitar 190 juta penduduk yang memiliki hak pilih memberikan suara pada Pilpres hari itu yang dimulai pukul 07.00 hingga 12.00. Di antaranya adalah kelompok minoritas agama. Mereka menyambut tanda-tanda kemenangan Jokowi.

“Kemenangan Jokowi memberi harapan bagi perjuangan kami untuk bisa menikmati kebebasan menjalankan agama sebagai minoritas,” kata Jalaludin Rakhmat, seorang tokoh Syiah, kepada ucanews.com. “Kehadiran dia dalam Pilpres ini merupakan kelanjutan dari proses reformasi kita untuk menghentikan model kepemimpinan Orde Baru yang kita turunkan pada 1998.”

Pada pertengahan Juni, Amnesty International (AI) mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membebaskan pemimpin komunitas Syiah, Tajul Muluk, yang dipenjara karena kasus penghinaan. Menurut AI, Tajul adalah tahanan nurani yang dipenjara hanya karena secara damai mengekspresikan hak asasinya untuk kebebasan berkeyakinan, bernurani, dan beragama.

Menurut Jalaludin, Jokowi tidak akan mudah menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi kelompok minoritas agama.

“Paling tidak, ia tidak punya beban moril untuk menindak kelompok-kelompok intoleran yang selama ini menjadi pemicu persoalan,” katanya, seraya menjelaskan bahwa Prabowo mendapat dukungan dari kelompok intoleran.

Pendeta Palti Panjaitan dari HKBP Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat, mengatakan bahwa Jokowi telah membuktikan rekam jejaknya dalam mengatasi kasus-kasus intoleransi agama.

“Ini membuat kami bisa berkata, ia bisa membawa perubahan dalam menghadapi kasus-kasus intoleransi. Selama ini persoalan kita, presiden tidak memiliki komitmen jelas. Ia memang beberapa kali mengatakan bahwa ia menghormati kebebasan beragama, tapi tidak ada langkah konkret yang ia ambil,” katanya.

HKBP Filadelfia ditutup paksa sejak beberapa tahun lalu.

Bagi Firdaus Mubarik, juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), larangan terhadap kebebasan beribadah telah menyebabkan keresahan di kalangan komunitas Ahmadiyah.

“Mesjid ditutup dan diserang. Ibadah dibubarkan paksa. Kasus-kasus demikian terjadi bertahun-tahun tanpa ada tindak tegas pemerintah untuk menyelesaikannya,” katanya.

Di akhir Juni, Mesjid Nur Khilafat milik penganut Ahmadiyah di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, disegel paksa oleh pejabat setempat yang mengatakan bahwa penyegelan itu berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan tahun 2008.

“Kami berharap kemenangan Jokowi yang hadir sebagai pemimpin dengan karakter berbeda dari pemimpin sebelumnya bisa mengatasi situasi ini. Yang kami inginkan, presiden memiliki keberpihakan tegas pada kebhinnekaan. Jokowi sudah tunjukkan itu, tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan tindakan,” lanjutnya.

Menurut Hendrikus Masan Hena, humas Paroki St. Joannes Baptista di Parung, Bogor, Jawa Barat, masalah intoleransi agama yang terjadi selama ini bukan hanya karena adanya ketimpangan dalam masyarakat tapi juga dalam kebijakan.

“Saya lihat SKB menteri agama dan menteri dalam negeri tentang pendirian rumah ibadat kalau betul-betul dijalankan secara benar, pasti benar. Tapi ada kelompok-kelompok yang salah memahaminya,” katanya.

Untuk Jokowi, lanjutnya, “jika tidak bisa merevisi SKB itu, lebih baik menghapusnya.”

Paroki yang memiliki sekitar 3.000 umat itu mengalami ganjalan dalam pengajuan IMB untuk mendirikan gereja. IMB pertama kali diajukan tahun 2007. Setelah perbaikan data, IMB kembali diajukan tahun 2010 dan 2011. Namun sampai saat ini, paroki belum memiliki IMB.

Sementara itu, Wakil Direktur Asia Pasifik AI Rupert Abbott mendesak presiden yang baru agar melakukan suatu penilaian yang mendalam tentang hak asasi manusia di Indonesia selama satu dekade terakhir dengan melakukan konsultasi dengan masyarakat sipil dan pihak-pihak terkait lainnya.

Terkait serangan terhadap kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah dan Syiah, ia mengatakan bahwa serangan semacam itu disebabkan oleh undang-undang (UU) dan peraturan yang diskriminatif baik di tingkat regional maupun nasional. “Misalnya UU tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama dan SKB tahun 2008 tentang Ahmadiyah,” katanya kepada ucanews.com via email.

Menurut Abbott, kelompok Islam garis keras menggunakan UU dan peraturan semacam itu untuk membenarkan aksi mereka terhadap kelompok minoritas agama.

“Pemerintah harus membatalkan semua UU dan peraturan yang melarang hak kebebasan berkeyakinan, bernurani, dan beragama seperti yang dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di mana Indonesia menjadi negara anggota,” lanjutnya.

Ryan Dagur dan Katharina R. Lestari, Jakarta

Baca juga: minorities-cheer-jokowis-indonesia-poll-lead

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi