UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Para korban era Marcos mengenang tahun-tahun suram di Filipina

Juli 15, 2014

Para korban era Marcos mengenang tahun-tahun suram di Filipina

 

Pada 11 Juli 1983, Pastor Rosaleo Rudy Romano CSsR meninggalkan biara dengan mengendarai sepeda motor menuju Kota Cebu. Sebuah mobil pemerintah dan dua sepeda motor menghadang imam itu di jalan.

Seorang saksi mata mengatakan seorang tentara bersenjata turun dari mobil, merampas tas imam itu, mengambil helm dan kacamata hitam, dan mendorong Pastor Romano ke dalam mobil. Mobil itu melesat, dan imam tidak pernah terlihat lagi.

Hilangnya Pastor Romano adalah hanya salah satu dari ratusan kasus serupa yang terjadi selama beberapa tahun darurat militer di bawah mantan diktator Ferdinand Marcos.

Banyak orang ditangkap dan disiksa. Ada yang hilang tapi beruntung bisa pulang, namun yang lain masih belum ditemukan hingga kini.

“Kami ingat keberanian dari orang-orang yang telah berjuang menurunkan kediktatoran, mereka mengorbankan hidup mereka demi kebebasan yang harus direbut, serta mereka yang selamat terus berjuang dan melawan segala bentuk penindasan,” kata Suster Crescencia Lucero, ketua Satuan Gugus Tugas Tahanan Filipina (TFDP, Task Force Detainees of the Philippines).

Selama 40 tahun, TFDP, yang didirikan oleh Asosiasi Para Pemimpin Religius negara itu selama penerapan darurat militer, menjadi saksi peristiwa pelanggaran HAM di negara itu.

Organisasi ini telah mendokumentasikan 5.531 kasus penyiksaan, 2.537 kasus eksekusi, 783 kasus penghilangan paksa, 238 insiden pembantaian, dan 92.607 kasus penangkapan selama dua dekade Marcos berkuasa yang berakhir tahun 1986.

Pada Jumat, para pendukung HAM yang dipimpin oleh TFDP berjanji mencegah darurat militer agar hal ini tidak terulang lagi di negeri itu. Kelompok ini mengadakan pertemuan bersama orang-orang yang selamat dari tahun-tahun suram, yang digelar secara serentak di berbagai bagian negara itu dalam rangka memperingati hilangnya Pastor Romano.

Suster Lucero mengatakan bertahun-tahun ia menghabiskan waktu bekerja untuk menegakan hak asasi manusia telah membuatnya menjadi sangat militan. “Tapi meskipun optimisme saya, ada pikiran mengganggu bahwa saya terus berjuang,” kata Suster Fransiskan itu kepada ucanews.com.

“Saya takut bahwa cara tersebut terjadi lagi  (di dalam negeri), ada kemungkinan bahwa akan kembali lagi suatu saat ketika keluarga Marcos akan kembali berada di pucuk pimpinan kekuasaan,” kata biarawati itu, dengan mengacu pada laporan bahwa Senator Ferdinand Marcos Jr sedang mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu 2016.

“Tuhan melarang. Penindasan ini salah satu mimpi buruk yang tidak akan pernah saya lupa,” kata Suster Lucero.

Loretta Ann Rosales, mantan aktivis HAM kini memimpin Komisi pemerintah tentang Hak Asasi Manusia, mengatakan masalah utama adalah Filipina telah melupakan masa lalu.

“Jika Anda melihat pemerintah, di Kongres saja, Anda akan melihat banyak orang yang dukung darurat militer,” katanya kepada ucanews.com.

“Orang-orang Marcos masih ada, dan mereka terus menguasai ekonomi dan politik,” kata Rosales, seraya menambahkan bahwa itu adalah kenyataan.

Masalahnya, Filipina sedang menghadapi masalah ketika datang ke hak asasi manusia, katanya, “bukan hanya masalah penjarahan ekonomi, pelanggaran hak-hak sipil dan politik, dan distorsi sistem birokrasi secara keseluruhan.”

Dia menambahkan bahwa darurat militer adalah “ganjalan” yang menghubungkan “distorsi dan manipulasi dalam pemerintah dalam hal korupsi dan perlindungan politik.

“Pemerintah masih melayani kepentingan dari beberapa orang,” katanya. “Hingga saat ini bahwa kita akan dapat memperbaiki birokrasi, dan apa itu dan bagaimana itu dibentuk oleh hukum perang, tak ada yang akan berubah,” kata Rosales.

Pada Jumat, TFDP meluncurkan “museum virtual tentang keberanian dan perlawanan”, yang berisi foto-foto korban pelanggaran HAM, pembela HAM, insiden-insiden selama kediktatoran,  dan daftar korban akibat darurat militer yang kasusnya telah didokumentasikan oleh organisasi itu.

“Biarkan museum tersebut menjadi sumbangan kecil TFDP dalam perlawanan terhadap kebohongan dan manipulasi yang menyebar untuk menggambarkan hukum bela diri negeri ini bertahun-tahun.  Ini harus diberitahu dan disebarkan setiap saat,” kata Suster Lucero.

“Kita berutang kepada diri kita sendiri, kita berutang kepada Pastor Rudy Romano dan semua orang yang telah menjadi martir selama darurat militer, dan kita berutang kepada generasi mendatang untuk tetap waspada. Janganlah kita merasa puas,” tambahnya.

Joe Torres, Manila

Baca juga: Marcos-era-victims-remember-philippines-dark-years

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi