Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kemiskinan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gagal membebaskan perempuan dari kemiskinan selama sepuluh tahun masa kepemimpinannya.
SBY dinilai tidak mampu menghasilkan kebijakan yang membebaskan perempuan, justeru membuat kebijakan yang semakin memarginalkan kaum perempuan, kata koordinator analisis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo dalam konferensi pers yang bertemakan: “Sepuluh Tahun di bawah Pemerintahan SBY, Perempuan Indonesia Masih Berkubang dalam Kemiskinan”.
Konferensi pers, yang diselenggarakan di Cikini, Jakarta pada Minggu (19/10), selain Wahyu Susilo, hadir juga koordinator Migrant Care Anis Hidayat, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sara, Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah, Koordinator Yayasan Social Analysis and Research Institute (SARI) Mulyadi dan politisi perempuan PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitalokah.
“Pemerintahan SBY tidak mampu memaksimalkan 10 tahun pemerintahannya menghasilkan kebijakan yang membebaskan perempuan Indonesia dari Proses pemiskinan bahkan semakin memarginalkan perempuan dalam mendapat akses terhadap keadilan dan akses dalam pengambilan keputusan politik,” ujar Wahyu Susilo.
Selain itu, Wahyu menilai SBY bersama DPR periode 2009-2014 tidak mampu menghasilkan produk-produk legislasi yang mendekatkan perempuan pada hak-hak dasarnya. Produk-produk legislasi yang dihasilkan, lanjutnya, malahan berpotensi menjadi alat legitimasi berlangsungnya pembatasan akses perempuan terhadap hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial, budaya begi perempuan.
“Bahkan beberapa produk legislasi di tingkat nasional dan daerah menjadi alat legitimasi berlangsungnya kriminalisasi terhadap perempuan,” katanya.
Senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartika Sari, dengan menyatakan bahwa selama 10 tahun kepemimpinan SBY, pemerintah bersama DPR RI gagal mempoduksi legislasi yang memastikan pemenuhan hak perempuan. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan kegagalan SBY menuntaskan sejumlah RUU terkait pemenuhan hak-hak perempuan.
“Sejak memimpin Indonesia, SBY dan DPR RI belum memutuskan RUU Perlidungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, dan RUU Kekerasan Seksual. Ketiga RUU ini sebenarnya berpihak pada perempuan,” kata Dian.
Menurut Dian, ironisnya produk legislasi yang dihasilkan banyak menjadi instrumen peminggiran dan kriminalisasi perempuan, seperti UU Pornografi dan Pornoaksi dan sejumlah UU terkait eksploitasi sumber daya alam.
“Potensi peminggiran perempuan secara politik juga terkandung dalam UU MD3 dan UU Pilkada di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD,” tandasnya.
Sementara Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah menyatakan bahwa dalam bidang ekonomi di mana pembangunan ekonomi kita berorientasi pada pertumbuhan ekonomo dan mengutamakan sektor formal dan padat modal telah mengabaikan peran penting perempuan dalam bidang ekonomi khususnya di sektor informal terutama di pedesaan.
“Pengabaian perempuan dalam pembangunan semakin memperburuk tingkat pendapatan perempuan. Studi KAPAL Perempuan dan organisasi PEKKA menunjukkan masih banyak perempuan Indonesia yang berpenghasilan berkisar Rp. 10.000 – Rp. 20.000 dengan panjangnya jam kerja lebih dari 10 jam setiap hari,” ujar Misiyah.
Koordinator Migrant Care Anis Hidayat juga mengungkapkan fakta bahwa wajah buruh migran Indonesia adalah wajah perempuan. Dari 5,6 juta buruh migran Indonesia di luar negeri, 90 persen di antaranya adalah perempuan yang bekerja di sektor demostik (pekerja rumah tangga).
“Selama 10 tahun pemerintahan SBY, tidak ada upaya signifikan dari pemerintah untuk melindungi buruh migran dari kerentanan baik dalam bentuk kebijakan dan pelayanan. Bahkan dalam pemerintahan SBY, UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri lahir dan UU ini cenderung diskriminatif terhadap PRT migran dan melegalkan praktek pengambilan keuntungan perusahaan pengerahan tenaga kerja,” jelas Anis.
Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan pertama kali diinisiasi oleh Institut KAPAL Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, PEKKA, PP Aisyiyah dan didukung oleh sejumlah LSM yang peduli perempuan dan konsen pada pengentasan kemiskinan di Indonesia. (suarapembaruan.com)