UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Wabah kekerasan fundamentalis

Januari 22, 2015

Wabah kekerasan fundamentalis

Kelompok fundamentalis yang marah besar karena sebuah film yang mereka nilai menghina agama menyebabkan terjadinya ledakan di bioskop di Paris.

Tigabelas orang terluka, empat diantaranya terluka parah. Di tempat lain, tabung gas air mata dan bom dipasang di bioskop-bioskop tempat film itu ditayangkan.

Teror itu terjadi tahun 1988, saat film hasil garapan Martin Scorsese The Last Temptation of Christ diputarkan. Anggota kelompok teroris itu adalah orang Kristen, termasuk juga Katolik.

Mereka mungkin tidak pernah melihat film tersebut, dan kalaupun mereka sudah menontonnya, mereka mungkin tidak akan pernah sadar bahwa film itu mengutarakan meditasi yang sangat dalam tentang cobaan yang dialami Yesus untuk meninggalkan salib-Nya, yang tidak lain merepresentasikan tiga godaan yang ada dalam Injil.

Dalam film itu, sama seperti dalam Injil, cobaan digambarkan sangat dahsyat. Dan Yesus dalam film itu, seperti juga Yesus dalam Injil, menolak semua godaan itu dan tetap memilih salib.

Saya belum pernah diminta sebagai seorang Kristen untuk memintaa maaf atas ketidakpedulian terhadap kehidupan dan keselamatan orang lain yang diakibatkan oleh kebodohan teroris Kristen tersebut. Jika diminta, saya akan menolak, karena saya tidak bertanggunjawab dan membenci perbuatan yang mengatasnamakan Kristus.

Saya juga tidak menerima serangan terhadap Katolik atau aliran Kristen lainnya karena ada orang-orang gila di antara kita orang beriman.

Orang-orang begitu takut dengan adanya aksi dari sekelompok fundamentalis Muslim. Misalnya serangan 9/11, ledakan bom saat Boston Marathon, pembunuhan jurnalis di Paris, pemenggalan kepala oleh ISIS dan perbudakan anak oleh Boko Haram di Afrika Tengah.

Yang kurang mendapat perhatian media global adalah penindasan terhadap orang-orang Kristen oleh kelompok fundamentalis di India, Indonesia, Malaysia dan beberapa negara lain di Asia.

Jelaslah bahwa di antara 1,5 miliar lebih penganut Islam, para pelaku kekerasan sebagian besar adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran Islam sesungguhnya, yang terpenjara dalam cara-cara ekspresi iman yang kuno, yang tidak yakin atas kekuatan Islam untuk bertahan hidup di dunia modern atau untuk menemukan cara lain untuk berhadapan dengan frustrasi politik, sosial atau ekonomi.

Kebanyakan dari kekerasan itu malah dilancarkan kepada Muslim lain yang imannya tidak dianggap tidak murni.

Inilah masalah yang semestinya ditanggapi oleh komunitas Muslim di seluruh dunia, komunitas yang dicederai oleh tindakan atas namanya sendiri. Agama mereka sesungguhnya sedang dibajak oleh setan (kejahatan).

Serangan drone atau bomb dari luar luar tidak akan bisa mencabut setan itu dari akarnya. Hanya aksi bersama oleh kelompok Muslim mayoritas yang tidak membenarkan kekerasan yang bisa mengalahkan kejahatan itu.

Orang luar hanya bisa menantang komunitas Muslim di seluruh dunia untuk bersatu melawan racun yang sudah nyata mencederai Islam sendiri daripada yang lainnya. Kita bisa dan seharusnya mendukung, dan bergabung dalam upaya kaum Muslim untuk mencabut fanatisme atas nama agama mereka.

Apa yang tidak bisa dan tidak boleh kita lakukan adalah merendahkan Islam dan para pengikutnya. Kita tidak boleh dan tidak usah berharap setiap umat Muslim menyampaikan maaf atas kebodohan atau ketidakwarasan dari anggota mereka. Orang Kristen tidak boleh menyalahkan kelompok fanatik yang membom bioskop Saint Michel di Paris.

Orang Katolik tidak bisa dipersalahkan dalam aksi terorisme Irish Republican Army (IRA) di Irlandia Utara dan Inggris. Tidak adil untuk mengharapkan orang Muslim menerima tanggungjawab bersama yang kita sendiri juga tidak terima atas komunitas iman kita.

Kita hidup di era fundamentalisme. Banyak orang, yang merasa terancam oleh perubahan yang terjadi begitu cepat dan diluar pemahaman atau kendali mereka, semakin berpegang teguh pada kebenaran lama dan cara-cara kuno dalam mengekspresikan iman mereka.

Kebanyakan fundamentalis, termasuk Muslim dan Kristen, tidak memakai kekerasan, tapi hanya takut akan dunia yang liar dan tidak bisa percaya bahwa Tuhan masih bersama mereka. Mereka mungkin kehilangan arah, tidak terdidik, polos, galau atau bodoh, tapi itu tidak serta merta menjurus kepada kekerasan.

Dan sesungguhnya fundamentalisme tidak terbatas pada agama. Bisa juga ditujukan kepada ilmu pengetahuan, seperti misalnya yang terjadi pada mereka yang menyangkal perubahan iklim atau evolusi. Fundamentalisme bisa ateistik, misalnya dalam kasus beberapa tokoh ateis yang benar-benar tidak mau terlibat dalam diskusi dengan penganut kepercayaan yang terdidik dan pintar. Ini mengindikasikan ketidaknyamanan mereka.

Di saat Islam berjuang untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kelompok fundamentalis, berjuang untuk menemukan cara baru dalam menjalani iman mereka, bantuan yang paling baik dilakukan oleh orang Kristen adalah untuk memberi contoh iman kepada Tuhan dengan mengatasi hal yang sama dalam Gereja, terutama ketika fundamentalis Kristen menunjukkan sikap dan tindakan anti-Muslim.

Pastor William Grimm, MM adalah publisher ucanews.com, tinggal di Tokyo. 

Sumber: UCAN: The Plague

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi