UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Ratusan organisasi desak Myanmar mendrop RUU tentang agama, pernikahan yang kontroversial

Januari 30, 2015

Ratusan organisasi desak Myanmar mendrop RUU tentang agama, pernikahan yang kontroversial

 

Sebuah kelompok dari 180 organisasi masyarakat sipil di Myanmar  mendesak parlemen agar mendrop empat RUU yang menurut mereka bertentangan dengan hukum dalam negeri dan internasional, seraya menambahkan bahwa legislasi tersebut bisa “menghancurkan stabilitas” masyarakat di negeri ini dengan memicu ketegangan agama jika RUU itu diterapkan.

Keempat RUU kontroversial itu terkait pernikahan, agama, poligami dan keluarga berencana telah diajukan oleh sebuah organisasi Buddhis – Asosiasi untuk Perlindungan Ras dan Agama –  sedang dibahas dalam sidang parlemen Myanmar saat ini.

Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan Rabu, jaringan dari 180 perempuan, organisasi keagamaan dan etnis, kelompok demokrasi, mengatakan empat RUU itu beresiko “menghasut kebencian, diskriminasi, konflik dan ketegangan” dalam komunitas-komunitas agama, jika RUU itu menjadi UU.

RUU Konversi Agama yang diusulkan, bila orang-orang yang ingin mengubah agama yang dianutinya pertama harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat, yang bertentangan hukum konstitusional bahwa setiap warga berhak untuk bebas menjalankan agamanya dan melindungi mereka dari penyalahgunaan agama untuk tujuan politik, kata pernyataan itu.

RUU itu juga bertentangan dengan pasal dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (DUHAM), yang menjamin hak untuk kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan, katanya.

Pernyataan itu mengatakan bahwa RUU Kesehatan untuk Pengendalian Pertumbuhan Penduduk, “bertujuan melegalkan kontrol negara atas hak-hak seksual dan reproduksi perempuan, termasuk keluarga berencana dan jarak kelahiran,” yang akan melanggar Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.

RUU ini juga akan berdampak pada pendaftaran kelahiran anak, serta bertentangan dengan Konvensi Hak Anak (CRC), yang menjamin pemerintah bekerja untuk mengembangkan semua anak dengan potensi mereka dan menjamin hak mereka atas hukum dan kewarganegaraan.

RUU Perkawinan Khusus Perempuan Buddha Myanmar “melanggar hak asasi manusia” karena UU itu mengontrol kondisi pernikahan seseorang dan kehidupan pribadi mereka, termasuk legalisasi hukuman atas tindakan yang bertentangan dengan hukum.

Dengan mewajibkan pendaftaran pernikahan bagi perempuan Buddhis dan laki-laki non-Buddhis, RUU tersebut “tidak menerapkan hukum yang sama bagi semua orang,” kata pernyataan itu.

Kelompok-kelompok itu mengatakan UU Monogami yang diusulkan gagal untuk menyatakan bahwa poligami di bawah adat atau agama dilarang dan orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana, dan tidak berdampak negatif pada perempuan, termasuk mereka yang berhubungan seks tanpa kontrak pernikahan.

Mereka mengatakan bahwa perempuan dalam hubungan poligami bisa kehilangan hak-hak mereka karena pernikahan mereka tidak diakui secara resmi, sementara hak-hak anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan akan dilanggar jika mereka lahir.

“Agama, keluarga berencana dan reproduksi, dan perkawinan adalah pelajaran integral kehidupan pribadi seseorang,” kata pernyataan itu, seraya menambahkan bahwa pemerintah “tidak bisa dan tidak mengontrol wilayah kehidupan masyarakat melalui hukum.”

“Dalam rangka membangun masyarakat yang sopan dan terhormat – salah satu bebas dari kebencian – ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan undang-undang yang menciptakan keseimbangan … antara masyarakat yang beragam,” kata kelompok.

Pemerintah akan lebih baik berfokus pada reformasi konstitusi dan pengembangan proses perdamaian antara pemerintah dan berbagai kelompok etnis bersenjata – dua masalah yang paling mendesak bagi masyarakat Myanmar, kata mereka.

Menargetkan agama

Ma Khin Lay, pendiri Kelompok Pendukung Perempuan Segitiga, yang berbasis di Yangon, salah satu organisasi yang menandatangani pernyataan tersebut, mengatakan kepada RFA bahwa dalam menganalisa empat RUU itu, kelompok itu telah menemukan bahwa mereka terfokus pada agama dan “sangat lemah” dalam melindungi kekerasan terhadap perempuan.

“Apa yang kami ingin untuk melihat adalah undang-undang yang akan melindungi terhadap segala bentuk kekerasan terhadap semua orang yang hidup di negara kita, apa pun agama mereka  atau  ras mereka,” katanya.

Ma Khin Lay mengatakan jika parlemen mengesahkan RUU itu tanpa mengambil poin yang dibuat dalam pernyataan ini UU itu akan menjadi pertimbangan,  “benar-benar non-demokratis” dan bukan wakil rakyat.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi