Sebuah paroki di Negara Bagian Shan, Myanmar bagian utara menjadi sasaran konflik spiral di kawasan itu pekan lalu ketika artileri kecil mendarat di kompleks gereja.
Kutkai Township, terletak di antara Kota Lashio dan Kota Muse di jalur perdagangan darat utama antara Myanmar dan Provinsi Yunnan, Tiongkok, telah menyaksikan para pengungsi tahun ini akibat bentrokan antara pasukan pemerintah Myanmar dan sejumlah kelompok etnis bersenjata yang beroperasi di wilayah ini.
Konflik itu sangat jarang berdampak langsung terhadap Gereja Katolik setempat, namun paroki Kutkai dicurigai oleh militer menyusul insiden pada 24 Februari malam.
Pastor John Sau Luk, pastor paroki itu, mengatakan kepada ucanews.com bahwa serangan bom disusul dengan pertempuran singkat terjadi dekat dengan bagian depan kompleks gereja malam itu.
“Tiga peluru ditembakkan ke gereja. Dua meledak dan satu tidak, jadi tentara datang terkait bom yang meledak pada Rabu”, kata imam itu dalam sebuah wawancara pada Kamis.
“Ketika peristiwa itu terjadi saya bertiarap di bawah tempat tidur. Pastor pembantu paroki saya sedang tidur di kamarnya dan beberapa pecahan peluru menghantam jendela dan hancur.”
Selain jendela di tempat imam itu, salah satu jendela gereja itu juga rusak.
Pastor Sau Luk mengatakan peluru hanya panjang sekitar 10 cm, tapi potongan-potongan kecil logam beterbangan ke segala arah.
Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas penembakan itu. Militer dan kelompok milisi Myanmar yang didukung pemerintah daerah, para pejuang – Tentara Kemerdekaan Kachin, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang, dan Tentara Negara Bagian Shan Utara, semuanya dikenal aktif di daerah itu.
Sehari setelah penembakan itu, militer memasuki kompleks gereja, menanyakan sejumlah orang dan benar-benar mencari gereja dan rumah imam. Lima pemuda yang tinggal di kompleks gereja dan satpam berusia 55 tahun dibawa ke pangkalan militer lokal untuk interogasi lebih lanjut.
“Mereka menutup mata tiga dari kami dan memukul saya dengan gagang senapan,” kata salah satu dari mereka yang ditanyai, berusia 19 tahun, yang meminta namanya dirahasiakan.
Semua enam orang menegaskan mereka tidak terlibat dalam bentrokan malam sebelumnya, katanya, tetapi mereka diinterogasi, seringkali dengan kekerasan, selama lima jam oleh militer sebelum diserahkan kepada polisi dan kemudian dibebaskan.
“Mereka menuduh kami sebagai pemberontak, dan berteriak: ‘Dimana senjata? Dimana bom?” kata pemuda itu.
“Salah satu dari kami tidak bisa berbicara bahasa Burma, sehingga mereka memukuli dia,” tambahnya. Mayoritas umat Katolik di Kutkai memiliki minoritas etnis Kachin.
Pertempuran baru-baru ini di daerah sekitar Kutkai telah menyebabkan 450 orang mengungsi dan berlindung di kota itu sejak awal 2015, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA).
Ratusan orang tinggal di kamp-kamp sementara di kota itu – termasuk satu yang terletak di kompleks gereja Katolik – dan tempat lain di utara negara bagian Shan, dimana pertempuran telah meluas akibat konflik selama empat tahun di negara bagian Kachin di utara.
Bentrokan pecah bulan lalu di wilayah Kokang, sekitar 100 kilometer sebelah timur Kutkai, yang melibatkan kelompok pemberontak etnis Cina yang disebut Tentara Aliansi Nasional Demokrat Myanmar.
Sekitar 30.000 orang telah menyeberangi perbatasan ke Tiongkok, dimana akses kemanusiaan telah terbatas, dan menurut UNOCHA sekitar 13.000 orang, sebagian besar etnis Bamar, melarikan diri ke arah barat, banyak yang kembali ke rumah mereka di Myanmar tengah.
Sumber: ucanews.com