UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Salam Damai dari Bukit Kasih

April 13, 2015

Salam Damai dari Bukit Kasih

Tugu Toleransi terlihat dari puncak Bukit Kasih.

 

Di puncak bukit itu ada burung merpati. Ia menjadi simbol kasih dan perdamaian. Itulah Bukit Kasih di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Hujan belum sepenuhnya reda ketika kami tiba di Bukit Kasih. Tampak bangunan menjulang setinggi 25 meter yang ternyata ialah Tugu Toleransi. Badan tugu ini berbentuk pentagonal yang pada setiap sisinya tertulis cuplikan ayat kitab suci dari berbagai agama – Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Prostetan. Maka, orang-orang menyebut kawasan ini dengan Bukit Kasih. Adapun nama resminya adalah Bukit Kasih Toar Lumimu’ut Kanonang. Toar dan Lumimu’ut adalah leluhur orang Minahasa. Wajah keduanya terpahat pada dinding tebing sekitar 500 meter dari Tugu Kasih.

”Di sana juga ada bangunan rumah ibadah lima agama. Kalau mau ke sana, saya siap mengantar,” kata Leo Paendong,  bocah berusia 10 tahun, yang mencari uang jajan sebagai pemandu. Setiap sepulang sekolah, dia ke Bukit Kasih mencari pelancong.

Samar-samar tampak kubah masjid dan salib, tetapi kabut terlalu tebal sehingga bangunan itu tak tampak utuh. Kabut juga mengesankan bangunan-bangunan itu begitu jauh untuk dijangkau. Sambil berjalan menuju bukit, kita bisa mampir ke warung yang menjual minuman panas dan jagung bakar.

Sesampai di warung milik Medi Walangitan, 41, bukannya kami ditawari makan atau minum, melainkan pijit. Beberapa ibu usia paruh baya meminta pengunjung agar duduk dan merendam kaki. Mereka menunjuk kolam-kolam kecil berisi air hangat dengan asap mengepul. Aroma belerang memenuhi ruang hidung.

Air-air hangat itu adalah  alami akibat panas bumi. Lokasi Bukit Kasih berada di lereng Gunung Soputan yang masih aktif. Kami berlima duduk berjajar menikmati kaki-kaki kami direndam air hangat campur belerang sambil dipijit ibu-ibu. Lumayan, pegal-pegal setelah berkendara sekitar 45 kilometer dari Manado berkurang.

Salah satu pemijat, Arni Sondakh (61), menjelaskan, para tukang pijat ini dilatih secara khusus oleh petugas dari Dinas Pariwisata Kabupaten Minahasa.

”Dua minggu kami dilatih memijat dan cara menyambut tamu. Dengan begitu, kami tahu bagaimana bersikap kepada para pengunjung sehingga tak ada kesan jelek,” ujarnya.

Mereka semula penjual cendera mata, tetapi penghasilan terus menurun karena semakin banyak penjual cendera mata di Bukit Kasih. Melihat peluang penghasilan dengan memijat, mereka bersedia dilatih. Dalam sehari, mereka memperoleh uang Rp 60.000 sampai Rp 100.000. Pada saat libur panjang atau akhir pekan, penghasilan bisa meningkat hingga dua kali lipat. ”Asal tidak hujan. Kalau hujan, banyak yang malas turun dari mobil,” ucap Selvi Rondonuwu (34), rekan Arni.

Seusai pijat, kami menikmati teh manis panas dan jagung bakar. Udara dingin Bukit Kasih menambah nikmat minuman dan makanan hangat itu.

Kisah sengsara

Untuk mencapai bukit, pengunjung harus menapaki 2.400 anak tangga yang susunannya berliku. Ketika itu hari mulai gelap. ”Kalau capek, nanti istirahat di atas. Air minumnya saya bawain,” kata Leo menawarkan jasa.

Pendakian pun dimulai. Satu anak tangga, sepuluh anak tangga, dan seratus anak tangga terlewati. Setelah melewati sekitar 120 anak tangga, napas mulai ngos-ngosan karena susunan yang berliku dan curam. Cadangan oksigen di udara juga tipis karena belerang menguar.

Kami beristirahat di samping pagar tangga yang juga terdapat relief kisah sengsara Yesus menuju bukit penyaliban. Pada relief itu tergambar Yesus memanggul salib. Relief-relief balada penyaliban itu mengiringi langkah-langkah kecil kami menuju puncak bukit.

 

0413d

Anak tangga menuju lima rumah ibadah di Bukit Kasih, Minahasa.

 

Ah, betapa lelah dan capek ini tak sebesar derita seperti yang tergambar dalam relief-relief itu. Kami pun terus melangkah hingga puncak. Leo benar, kami hanya butuh waktu sekitar setengah jam sudah termasuk rehat beberapa menit untuk bisa sampai puncak.

Bocah ini pun memberikan petunjuk cara menikmati suasana di puncak bukit. Beberapa rekan dia minta mengangkat satu kaki dan merentangkan kedua tangan dengan badan membelakangi jurang, kemudian Leo memotretnya. Hasilnya, mereka seperti tengah terbang dengan latar belakang kabut.

Dari atas bukit, kami melihat masjid, gereja, wihara, dan pura berdiri berjajar. Mereka berdampingan di atas Bukit Kasih. Dari atas bukit yang sama, kami menyaksikan Tugu Toleransi tegak menjulang ke langit. Udara sore itu makin membawa kesejukan. Peluh kami perlahan hilang tersapu sejuk.

Satu-satu lampu rumah di bawah sana menyala. Langit makin gelap tanda malam segera datang. Kami pun menuruni anak tangga kembali pulang meninggalkan Bukit Kasih yang memberikan damai di hati. (Kompas.com)

 

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi