UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perdebatan transgender di Korea Selatan mendorong para aktivis LGBT menentang Kristen

Mei 18, 2015

Perdebatan transgender di Korea Selatan mendorong para aktivis LGBT menentang Kristen

Para demonstran di Seoul mengadakan aksi protes menentang kebijakan Menteri Pendidikan tentang pedoman pendidikan seks bagi sekolah.

 

Belum sampai memasuki tahun kedua SMA, Jeong Min-seok berusia 18 tahun, menyadari bahwa ia adalah seorang gay. Bahkan,  dia tidak paham apa artinya. Ketika ia menghidupkan televisi di awal tahun 1990-an, ia mendapat penjelasan  bahwa  seorang transgender berarti menyukai  jenis seks  yang sama.

“Tapi, saya tidak ingin menjadi seorang wanita, saya tidak mau menjadi gay,” kenang Jeong.

Dua puluh tahun kemudian, Jeong berada di garis depan menentang kebijakan dan menjadi seorang aktivis LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Korea Selatan dan Kristen Evangelis mempertanyakan,  apa yang harus mengajar anak-anak tentang LGBT di sekolah.

“Karena guru tidak boleh berbicara tentang LGBT, para siswa tidak bisa mendapatkan informasi dan berpikir bahwa mereka tidak memiliki teman LGBT di sekitar mereka,” kata Jeong, yang mengelola LGBTQ Youth Crisis Support Center, yang berbasis di Seoul, satu-satunya fasilitas LGBT di negara itu.

Pada Maret, Departemen Pendidikan mengeluarkan pedoman pendidikan seks bagi sekolah-sekolah untuk pertama kalinya  dimasukan ke dalam kurikulum. Pedoman itu secara tegas melarang sebutan homoseksualitas, sepakat melobi  kelompok-kelompok Kristen setempat.

Setelah reaksi dari para aktivis LGBT dan beberapa pendidik, kata-kata terkait transgender  direvisi, termasuk  homoseksualitas “tidak dimasukkan” ke dalam kurikulum.

Dalam membela  LGBT, kementerian itu berpendapat bahwa homoseksualitas bukan “sesuatu yang rahasia” sejauh nilai-nilai seksual dijaga.

Awal bulan ini, kontroversi muncul di tingkat internasional ketika Human Rights Watch menuduh pemerintah “merendahkan LGBT, memberikan pesan intoleran terhadap kaum muda Korea Selatan” dan melanggar “hak-hak dasar informasi, kesehatan, dan pendidikan”.

Ketika seseorang yang dilecehkan seksualitasnya di sekolah, Jeong percaya itu penting bagi siswa untuk diajarkan tentang keragaman orientasi seksual dan identitas.

“Jika Anda melihat data, jumlah korban  pelecehan dan kekerasan sangat tinggi,” katanya, seraya menambahkan bahwa sekolah telah berubah sedikit  bagaimana mereka memperlakukan LGBT. “Ini adalah realitas di Korea, dan saya pikir ini adalah tugas yang paling mendesak.”

Kemungkinan konsekuensi perlakuan kasar tersebut mengkhawatirkan berdasarkan data tentang kesehatan mental kaum muda LGBT. Dalam sebuah survei terhadap minoritas seksual yang dilakukan oleh kelompok aktivis Chingusai tahun lalu, sekitar 45 persen dari lebih dari 600 responden berusia 18 tahun atau di bawah mengatakan mereka telah berusaha bunuh diri.

Sementara Kementerian Pendidikan telah mengklaim pendekatan isu orientasi seksual dari perspektif HAM, Jeong melihat pedoman itu mengasingkan  kaum muda yang berbeda dari rekan-rekan mereka secara seksual.

“Saya pikir apa yang dikatakan orang: Jangan bicara tentang hal itu, diam, jangan bicara tentang kekhawatiran Anda, tidak boleh bergaul dengan teman Anda.”

0518a

Jeong Min-seok (tengah) duduk bersama koleganya di LGBTQ Youth Crisis Support Center di Seoul.

 

Masyarakat Korea Selatan umumnya bersikap negatif terhadap perilaku menyimpang dari norma-norma seksual tradisional (hanya 39 persen warga Korea Selatan mengatakan bahwa homoseksualitas harus diterima oleh masyarakat dalam jajak pendapat Pew tahun 2013), tapi  reaksi dari Protestan konservatif agar  draf pedoman pendidikan seks yang disahkan tahun lalu dibatalkan saja.

Denominasi Protestan mengklaim sekitar 20 persen dari populasi di antara anggota  mereka, membuat lobi-lobi politik yang kuat.

“Saya pikir intinya adalah bahwa desakan kami sesuai dengan Alkitab mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa. Jadi kami memiliki prinsip-prinsip normatif tentang itu,” kata juru bicara Dewan Kristen Korea (CCK) kepada ucanews.com pada kondisi anonimitas.

CCK, organisasi terbesar di negara itu dari Gereja-gereja Protestan, telah menjadi lawan yang menonjol, termasuk materi LGBT dalam kurikulum pendidikan.

“Kami pikir homoseksualitas, atau perkawinan sesama jenis atau LGBT berbahaya untuk sistem perkawinan,” kata juru bicara CCK.

Dia menambahkan keprihatinan mereka terkait dengan usia siswa untuk menerima pendidikan seks.

“Kami pikir mereka masih remaja, belum sepenuhnya tumbuh dewasa, sehingga mereka mungkin akan terpengaruh oleh terdistorsi ‘pendidikan seks,’ dari perspektif CCK,” kata dia.

Dia mengakui bahwa organisasinya memiliki hubungan dekat dengan kalangan politik. Biasanya, perdana menteri dan pemimpin partai yang berkuasa dan oposisi telah sering mengunjungi organisasi, katanya.

“Saya pikir masyarakat Korea pada umumnya cukup konservatif,” katanya. “Jadi masih …. Saya pikir banyak orang yang menentang homoseksualitas. Dan kemudian orang-orang Kristen yang bahkan lebih keras terhadap masalah itu.”

Sementara data survei dari Pew tahun 2013 juga menunjukkan lebih dari 70 persen anak usia 18-29 tahun mendukung penerimaan homoseksualitas. Di antara semua kelompok umur, jumlah orang yang setuju lebih dari dua kali lipat dari tahun 2007, menandakan pergeseran besar dalam persepsi publik.

Namun, untuk saat ini setidaknya, kelompok-kelompok seperti CCK tetap di sisi memenangkan perdebatan yang tampaknya akan marah pada masa depan.

Dimanapun perdebatan yang menjurus kepada LGBT , Jeong tidak diragukan lagi ikut berdebat, bahkan ia mengkritik  bahwa orang-orang muda harus menyesuaikan diri  pada   satu pemikiran identitas seksual.

“Ini benar-benar salah dan berbahaya,” katanya. “Saya ingin mengatakan, penting bahwa ada perubahan secepatnya.”

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi