UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Dari pengungsi menjadi pengacara hak asasi: Mengapa kita harus membantu Rohingya

Mei 25, 2015

Dari pengungsi menjadi pengacara hak asasi: Mengapa kita harus membantu Rohingya

Para migran Rohingya yang belum lama ini tiba di Aceh Utara beristirahat di sebuah tempat penampungan sementara. (Foto: Ryan Dagur)

 

Pada akhir Oktober 1978 ketika orangtua saya membuat keputusan yang berani, tapi sangat sulit untuk meninggalkan negara asal mereka di Vietnam menyusul perang berakhir. Sementara nenek saya tidak menginginkan putrinya pergi, harus mengorbankan dirinya untuk meninggalkan anggota keluarga sehingga dia bisa menemukan suasana yang bebas dari komunisme. Nenek saya telah pindah dari Vietnam Utara ke Vietnam Selatan 24 tahun sebelumnya untuk menghindari penganiayaan dari Komunis, tetapi tahun 1978 komunis telah menguasasi di Vietnam Utara, Vietnam Tengah dan Vietnam Selatan.

Orangtua saya berdesakan-desakan dalam perahu nelayan dengan panjang 15 meter bersama  600 orang lain. Pria digiring ke pintu  sempit melewati  makanan dan air, sementara perempuan dan anak-anak duduk di dek paling atas.

Saya ingat ibu saya menceritakan kepada saya betapa ia bingung dan takut, tapi dia tidak punya pilihan. Orangtua saya sudah putus asa dan melarikan diri, namun  saat itu mereka sedih meninggalkan negara asal mereka – tempat mereka menghabiskan masa kecil mereka, tempat mereka bertemu, dan tempat mereka jatuh cinta. Tapi, mereka tahu mereka harus pergi.

Perahu mereka bocor akibat berlayar melewati hujan  dan badai selama 4 hari  dan tiga malam sebelum tiba di Malaysia dan mereka dipindahkan ke sebuah kamp di Kota Bharu. Empat bulan kemudian, bersama kakak saya berusia 5 bulan, mereka dimukimkan di Australia. Meskipun orangtua saya tidak punya dokumen identitas dan tiba dengan perahu, mereka tidak menolak. Mereka tidak menuduh kami sebagai “ilegal”, tetapi kami diterima sebagai pengungsi di bawah Pemerintah Fraser di Australia.

Pada awalnya, hidup adalah sulit bagi orangtua saya. Mereka adalah orang asing  di negara itu dimana mereka tidak kenal seorang pun, bahkan tidak tahu bahasa. Tapi, mereka aman dan bebas dari penganiayaan, dan dengan bantuan masyarakat Australia, mereka berhasil membangun kehidupan baru.

Tahun 1980 ibu saya melahirkan putra  yang lain dan saya lahir tahun 1988. Orangtuaku sehari-hari bersyukur bahwa pemerintah Australia memberi mereka kesempatan lain untuk hidup. Saya juga berterima kasih kepada  mereka dan pengorbanan orangtua saya. Jika bukan karena mereka, saya tidak akan memiliki kesempatan untuk belajar hukum.

Saya sekarang adalah seorang pengacara hak asasi manusia (HAM), membantu para pencari suaka, sebuah kelompok  dari orang-orang yang berada dalam situasi yang sama seperti orangtua saya hampir 37 tahun lalu.

Dunia tertutup

Nasib terbaru dari pencari suaka Rohingya tampaknya seperti eksodus lebih dari satu juta pencari suaka Vietnam yang melarikan diri dari tanah air mereka ke negara-negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Indonesia dan Malaysia, menyusul berakhirnya Perang Vietnam. Lebih dari 8.000 pencari suaka Rohingya dari Burma (Myanmar) dan Bangladesh, melarikan diri dari penganiayaan, dan terdampar  di  pantai Malaysia, Thailand dan Indonesia dan beresiko kematian.

Berbeda dengan 30 tahun lalu, bukan dunia yang menerima pengungsi dan mematuhi kewajiban internasional mereka, mereka sekarang dihadapkan dengan dunia yang semakin tidak suka  dan takut. Negara-negara  penandatangan Konvensi  PBB tentang Pengungsi diwajibkan oleh hukum internasional untuk melindungi para pencari suaka, tetapi mereka “memulangkan manusia perahu” itu dan menolak untuk memukimkan kembali mereka – takut bahwa jika mereka menerima mereka akan membuka pintu air dan percaya bahwa metode ini akan memerangi perdagangan manusia.

Eropa memulangkan kembali manusia perahu akibat gejolak perang sipil dan politik di Libya, pemerintah Australia mengembalikan  kapal ke perairan Indonesia, Malaysia, menyatakan “Rohingya adalah bukan masalah kami” sedangkan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott,  mengatakan “Tidak , tidak, tidak” ketika ditanya apakah Australia akan menerima Rohingya.

Menutup mata

Konsekuensi dari tindakan ini akhirnya mulai membuahkan hasil tentang nasib dari kelompok etnis yang paling teraniaya di dunia itu. Fakta bahwa PBB telah memberikan kesempatan warga Rohingya, penjelasan ini tampaknya tidak mempengaruhi beberapa negara.

Meskipun baru-baru ini, Filipina, Malaysia, dan Indonesia telah sepakat memberikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan sementara, sedangkan AS serta Gambia telah setuju mempertimbangkan permintaan memukimkan kembali Rohingya, beberapa negara masih menutup mata dengan menggunakan kata-kata seperti “penyelundupan manusia” atau “perdagangan manusia” untuk membela tindakan mereka.

Negara-negara yang menyatakan bahwa pengungsi Rohingya adalah bukan masalah mereka adalah melanggar hukum internasional, terutama jika mereka adalah penandatangan Konvensi PBB tentang Pengungsi. Namun, negara-negara yang bukan penandatangan masih memiliki kewajiban hukum di bawah hukum  internasional yang ditentukan untuk mencegah kembalinya orang berisiko akibat pelanggaran hak asasi serius. Dengan mengatakan “tidak” bagi para  pencari suaka bukan cara untuk mengatasi bahaya yang memaksa orang melarikan diri; dengan mengatakan “tidak” merendahkan kekuatan hukum internasional.

Sepanjang penganiayaan berlanjut, orang akan terus mencari suaka. Krisis yang nyata adalah bukan penyelundupan orang atau perdagangan manusia. Apa yang kita benar-benar tahu sekarang adalah krisis kemanusiaan, dan berbagai negara terus melanggar kewajiban internasional mereka atau menolak bekerja sama demi keuntungan politik dalam negeri, lebih banyak orang akan terus mati di laut.

Akar permasalahan

Tentu saja, akar permasalahan adalah penganiayaan dan diskriminasi di Burma. Rohingya adalah bagian dari kelompok etnis minoritas Muslim yang berbeda di Burma. Mereka tidak diberikan hak-hak dasar atau status kewarganegaraan. Ini perlu ditangani guna mencegah warga Rohingya meninggalkan sia-sia, meskipun ini adalah strategi jangka panjang.

Strategi jangka pendek bagi negara-negara adalah meningkatkan dan memberikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan sementara bagi para pencari suaka Rohingya sementara kasus mereka sedang diproses. Seperti apa yang dilakukan Filipina  ketika ribuan pencari suaka Vietnam tiba di pantai negara itu  tahun 1970-an di berbagai daerah seperti Bataan dan Palawan, dan sangat mirip dengan apa yang warga Malaysia lakukan ketika orangtua saya terpaksa melakukan  perjalanan mereka yang berbahaya demi kehidupan yang lebih baik sebelum diberikan suaka di Australia.

Saat saya menulis artikel ini, saya bertanya – Dimana orangtua saya berada hari ini jika mereka tidak dimukimkan kembali? Dimana saya berada hari ini jika perahu orangtua saya ‘dipulangkan ke negara yang menganiaya mereka? Dimana banyak mantan pencari suaka Vietnam berada jika kedaulatan adalah prioritas utama?

Kehidupan manusia tidak boleh tergantung pada motif politik, namun pada kemanusiaan. Sudah saatnya negara-negara menyadari aspek kemanusiaan ini.

Anna Nguyen adalah seorang pengacara hak asasi manusia lahir di Australia. Dia kini tinggal di Manila, Filipina, dan merupakan Penasehat Hukum VOICE, sebuah organisasi non-profit yang membantu mengembangkan masyarakat sipil di Vietnam dan pemukiman kembali pencari suaka dan pengungsi Vietnam yang tidak memiliki kewarganegaraan yang membutuhkan perlindungan.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi