Almerio Alves baru berusia 15 tahun ketika ia keluar dari sekolah.
Dia berasal dari keluarga petani miskin. Banyak waktu luangnya dihabiskan membantu orangtuanya bekerja di kebun, kumpul kayu bakar, dan mengambil air. Pekerjaan itu membuat dia tidak bisa belajar.
Tetapi, sejumlah guru di sekolah itu tidak ingin kalau Alves meninggalkan sekolahnya. Suatu hari, seorang guru matematika memukul kepalanya dengan tongkat karena Alves tidak mengerjakan PR.
“Akibat kekerasan tersebut membuat kepala saya mengalami bengkak besar selama beberapa hari,” kenang Alves dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Sekarang ia berusia 23 tahun, ia bekerja sebagai sopir taksi di Dili, ibukota Timor Leste. Kini Alves lebih memilih bekerja daripada bersekolah.
Tidak seperti Alves, Martinha da Costa Pereira Neto berhasil lulus dari sekolah tinggi. Tetapi sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, ia harus bekerja daripada mengejar pendidikan di universitas karena keluarganya membutuhkan uang tambahan – penghasilan ayahnya sebagai guru sekolah dasar tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
“Bahkan biaya sekolah saya, orangtua saya harus meminjam uang dari orang lain,” katanya kepada ucanews.com. “Jadi saya memutuskan untuk bekerja, bukan berpikir tentang kuliah.”
Dia bergabung dengan sebuah LSM lokal. Tapi setelah ia dipromosikan ke posisi manajemen, dia menyadari bahwa dia tidak memiliki kemampuan dengan pekerjaannya. Dia berhenti.
Pengalaman Alves dan Martinha ini mewakili sebagian kecil dari masalah dalam sistem pendidikan di negara mayoritas Katolik itu. Tiga belas tahun setelah merdeka, sistem pendidikan Timor Leste masih berjuang dengan kebutuhan dasar. Kemiskinan, infrastruktur yang buruk dan kekurangan guru berkualitas merupakan tantangan utama.
Sebuah gedung sekolah tua di Dili, ibukota Timor Leste, yang ditinggalkan dan membutuhkan renovasi.
Tertinggal
Jose de Jesus, koordinator Koalisi Pendidikan Timor Leste, mengatakan sistem pendidikan negara ini perlu diperbaiki.
“Kami memiliki banyak masalah,” katanya. “Yang paling penting adalah infrastruktur sekolah, kualitas guru dan fasilitas mengajar.”
Dia mengatakan masalah ini bisa diatasi, tetapi pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan melalui kebijakan dan pendanaan.
Deklarasi Incheon, sebuah produk dari Forum Pendidikan Dunia di Korea tahun ini, menargetkan pendanaan besar agar negara-negara harus menghabiskan dana pada pendidikan mereka. Rekomendasi termasuk alokasi antara 15 dan 20 persen dari total pengeluaran publik di suatu negara terkait pendidikan.
Namun, Timor Leste telah menyiapkan dana kurang dari 7 persen dari anggaran tahun ini untuk pendidikan, menurut koalisi itu.
Sebagai perbandingan, Indonesia menghabiskan sekitar 18 persen pada bidang pendidikan tahun 2012, menurut data Bank Dunia. Demikian pula, Thailand dan Singapura dikhususkan sekitar 20 persen; Vietnam dialokasikan 21 persen; dan Laos – seperti Timor Leste menghabiskan 15 persen dari anggaran pendidikan tahun lalu.
Sementara negara telah berjuang menaikkan anggaran pendidikan setiap tahun, jumlah pendaftaran telah melonjak, memberikan tekanan lebih lanjut pada sistem itu.
Menurut Bank Dunia, jumlah siswa yang terdaftar di sekolah-sekolah Timor Leste mencapai 364.000 siswa tahun 2014 – meningkat 50 persen dalam 12 tahun.
Eladio Faculto adalah anggota dari komisi parlemen yang mengawasi bidang kesehatan dan pendidikan. Idealnya, kata dia, kenaikan jumlah pendaftaran harus diimbangi dengan perbaikan infrastruktur yang tersedia dan layanan bagi siswa.
“Tiga belas tahun setelah kemerdekaan, sektor pendidikan kami masih berjuang dengan masalah dasar seperti infrastruktur lama dan usang, metode pengajaran, dan fasilitas sekolah,” katanya.
Pada kunjungan terakhir ke beberapa desa terpencil, misalnya, Faculto mengatakan ia melihat para siswa SD belajar di bawah pohon. Beberapa gedung sekolah rusak; kekurangan meja atau kursi.
Tapi, masalah ini tidak terjadi hanya di daerah-daerah terpencil. “Bahkan di Dili, sejumlah sekolah sudah tua dan membutuhkan renovasi,” kata Faculto.
Komunikasi dasar juga telah menjadi masalah. Misalnya, bahasa resmi Timor Leste adalah Tetum dan Portugis. Namun, banyak guru dilatih dalam bahasa Indonesia.
“Kebanyakan guru dilatih dalam bahasa Indonesia, mereka benar-benar tidak memiliki pengetahuan dalam bahasa Portugis,” kata Faculto.
Kini negara ini bercita-cita menjadi bagian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), guru dan siswa juga dituntut belajar bahasa Inggris. Koalisi Pendidikan Timor Leste berkampanye bahasa Inggris untuk digunakan di sekolah-sekolah, selain bahasa resmi.
Peran Gereja dalam bidang pendidikan
Untuk beberapa mata pelajaran, ajaran pembangunan karakter dan etika adalah salah satu bagian yang paling penting dari pendidikan yang baik.
Agustinho dos Santos Goncalves, direktur Yayasan Christal, salah satu lembaga pendidikan Katolik terbesar di Timor Leste, mengatakan sistem pendidikan harus mengajarkan rasa saling menghormati dan nilai-nilai budaya.
Ia yakin kesepakatan yang ditandatangani pada Agustus oleh pemerintah Timor Leste dan Vatikan akan memiliki efek positif bagi negara itu, termasuk sektor pendidikan.
“Jika pemerintah ingin pendidikan yang berkualitas, pihaknya harus memberikan lebih banyak kesempatan kepada Gereja mengembangkan pendidikan dan difokuskan pada iman dan pembentukan moral,” katanya.
Yayasan Christal saat ini menawarkan pendidikan sekitar 8.000 orang dari SD, sekolah menengah hingga universitas. Sementara banyak warga Timor Leste percaya bahwa mereka harus belajar di luar negeri untuk menerima pendidikan yang berkualitas,
Goncalves mengatakan organisasinya berbasis Gereja dapat menjamin bahwa para siswa tidak harus meninggalkan negara itu.
Setelah ia kehilangan pekerjaannya, Martinha kembali mengikuti kuliah dan menyelesaikan gelar sarjananya, berkat beasiswa yang didanai oleh misionaris Yesuit. Dia sekarang bekerja di kementerian pendidikan merevisi buku-buku pelajaran negaranya.
Selain itu Alves tidak ingin sekolah lagi. Ia senang dengan pekerjaannya sebagai sopir taksi.
“Bahkan jika ada seseorang yang ingin membayar saya, saya tidak akan kembali ke sekolah,” tambahnya.
Sumber: ucanews.com