UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Sekolah di Timor Leste masih berjuang dengan kebutuhan dasar

September 3, 2015

Sekolah di Timor Leste masih berjuang dengan kebutuhan dasar

Para siswa mengikuti pelajaran di sebuah sekolah yang dikelola oleh Yayasan Christal di Dili.

 

Almerio Alves baru berusia 15 tahun ketika ia keluar dari sekolah.

Dia berasal dari keluarga petani miskin. Banyak waktu luangnya dihabiskan membantu orangtuanya bekerja di kebun, kumpul kayu bakar, dan mengambil air. Pekerjaan itu membuat dia tidak bisa belajar.

Tetapi, sejumlah guru di sekolah itu tidak ingin kalau Alves meninggalkan sekolahnya. Suatu hari, seorang guru matematika memukul kepalanya dengan tongkat karena Alves tidak mengerjakan PR.

“Akibat kekerasan tersebut membuat kepala saya mengalami bengkak besar selama beberapa hari,” kenang Alves dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Sekarang ia berusia 23 tahun, ia bekerja sebagai sopir taksi di Dili, ibukota Timor Leste. Kini Alves lebih memilih bekerja daripada bersekolah.

Tidak seperti Alves, Martinha da Costa Pereira Neto berhasil lulus dari sekolah tinggi. Tetapi sebagai anak sulung  dari tujuh bersaudara, ia harus bekerja daripada mengejar pendidikan di universitas karena keluarganya membutuhkan uang tambahan – penghasilan ayahnya sebagai guru sekolah dasar tidak mencukupi kebutuhan keluarga.

“Bahkan biaya sekolah saya, orangtua saya harus meminjam uang dari orang lain,” katanya kepada ucanews.com. “Jadi saya memutuskan untuk bekerja, bukan berpikir tentang kuliah.”

Dia bergabung dengan sebuah LSM lokal. Tapi setelah ia dipromosikan ke posisi manajemen, dia menyadari bahwa dia tidak memiliki kemampuan  dengan pekerjaannya. Dia  berhenti.

Pengalaman Alves dan Martinha ini mewakili sebagian kecil dari masalah dalam sistem pendidikan di negara mayoritas Katolik itu. Tiga belas tahun setelah merdeka, sistem pendidikan Timor Leste masih berjuang dengan kebutuhan dasar. Kemiskinan, infrastruktur yang buruk dan kekurangan guru berkualitas merupakan tantangan utama.

0904bSebuah gedung sekolah tua di Dili, ibukota Timor Leste, yang ditinggalkan dan membutuhkan renovasi.

 

Tertinggal

Jose de Jesus, koordinator Koalisi Pendidikan Timor Leste, mengatakan sistem pendidikan negara ini perlu diperbaiki.

“Kami memiliki banyak masalah,” katanya. “Yang paling penting adalah infrastruktur sekolah, kualitas guru dan fasilitas mengajar.”

Dia mengatakan masalah ini bisa diatasi, tetapi  pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan melalui kebijakan dan pendanaan.

Deklarasi Incheon, sebuah produk dari Forum Pendidikan Dunia di Korea tahun ini, menargetkan pendanaan besar agar negara-negara harus menghabiskan dana pada pendidikan mereka. Rekomendasi termasuk alokasi  antara 15 dan 20 persen dari total pengeluaran publik di suatu negara terkait pendidikan.

Namun, Timor Leste telah menyiapkan dana kurang dari 7 persen dari anggaran tahun ini untuk pendidikan, menurut koalisi itu.

Sebagai perbandingan, Indonesia menghabiskan sekitar 18 persen pada bidang pendidikan tahun 2012, menurut data Bank Dunia. Demikian pula, Thailand dan Singapura dikhususkan sekitar 20 persen; Vietnam dialokasikan 21 persen; dan Laos – seperti Timor Leste menghabiskan 15 persen dari anggaran pendidikan tahun lalu.

Sementara negara telah berjuang  menaikkan anggaran pendidikan setiap tahun, jumlah pendaftaran telah melonjak, memberikan tekanan lebih lanjut pada sistem itu.

Menurut Bank Dunia, jumlah siswa yang terdaftar di sekolah-sekolah Timor Leste mencapai 364.000 siswa  tahun 2014 – meningkat 50 persen dalam 12 tahun.

Eladio Faculto adalah anggota dari komisi parlemen yang mengawasi bidang kesehatan dan pendidikan. Idealnya, kata dia, kenaikan jumlah pendaftaran harus diimbangi dengan perbaikan infrastruktur yang tersedia dan layanan bagi siswa.

“Tiga belas tahun setelah kemerdekaan, sektor pendidikan kami masih berjuang dengan masalah dasar seperti infrastruktur lama dan usang, metode pengajaran, dan fasilitas sekolah,” katanya.

Pada kunjungan terakhir ke beberapa desa terpencil, misalnya, Faculto mengatakan ia melihat para siswa SD belajar di bawah pohon. Beberapa gedung sekolah rusak;  kekurangan meja atau kursi.

Tapi, masalah ini tidak terjadi hanya di daerah-daerah terpencil. “Bahkan di Dili, sejumlah sekolah sudah tua dan membutuhkan renovasi,” kata Faculto.

Komunikasi dasar juga telah menjadi masalah. Misalnya, bahasa resmi Timor Leste adalah Tetum dan Portugis. Namun, banyak guru dilatih dalam bahasa Indonesia.

“Kebanyakan guru dilatih dalam bahasa Indonesia, mereka benar-benar tidak memiliki pengetahuan dalam bahasa Portugis,” kata Faculto.

Kini negara ini bercita-cita  menjadi bagian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), guru dan siswa juga dituntut  belajar bahasa Inggris.  Koalisi Pendidikan Timor Leste berkampanye  bahasa Inggris untuk digunakan di sekolah-sekolah, selain bahasa resmi.

0904cEladio Faculto

 

Peran Gereja dalam bidang pendidikan

Untuk beberapa mata pelajaran, ajaran pembangunan karakter dan etika adalah salah satu bagian yang paling penting dari pendidikan yang baik.

Agustinho dos Santos Goncalves, direktur Yayasan Christal, salah satu lembaga pendidikan Katolik terbesar di Timor Leste, mengatakan sistem pendidikan harus  mengajarkan rasa saling menghormati dan nilai-nilai budaya.

Ia yakin kesepakatan yang ditandatangani pada  Agustus oleh pemerintah Timor Leste dan Vatikan akan memiliki efek positif bagi  negara itu, termasuk sektor pendidikan.

“Jika pemerintah ingin pendidikan yang berkualitas,  pihaknya harus memberikan lebih banyak kesempatan kepada Gereja  mengembangkan pendidikan dan difokuskan pada iman dan pembentukan moral,” katanya.

Yayasan Christal saat ini menawarkan pendidikan sekitar 8.000 orang dari SD, sekolah menengah hingga universitas. Sementara banyak warga Timor Leste percaya bahwa mereka harus belajar di luar negeri untuk menerima pendidikan yang berkualitas,

Goncalves mengatakan organisasinya berbasis Gereja dapat menjamin bahwa para siswa tidak harus meninggalkan negara itu.

Setelah ia kehilangan pekerjaannya, Martinha kembali mengikuti kuliah dan menyelesaikan gelar sarjananya, berkat beasiswa yang didanai oleh misionaris Yesuit. Dia sekarang bekerja di kementerian pendidikan merevisi buku-buku pelajaran negaranya.

Selain itu Alves tidak ingin sekolah lagi. Ia senang dengan pekerjaannya sebagai sopir taksi.

“Bahkan jika ada seseorang yang ingin membayar saya, saya tidak akan  kembali ke sekolah,” tambahnya.

Sumber: ucanews.com

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi