- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Sistem peradilan India gagal memberikan rasa keadilan bagi korban kerusuhan anti-Kristen

 

Dia terlihat ceria, pemalu dan bermata belong, bibir tipis dan senyum menawan menunjukkan gadis berusia  20-an tahun itu adalah seorang periang.

Sapna* adalah korban serangan seksual mengerikan. Dia diperkosa selama kekerasan anti-Kristen tahun 2008 di distrik Kandhamal, negara bagian Odisha, sebelumnya dikenal sebagai Orissa, India bagian timur.

Kekerasan ini dipicu oleh pembunuhan seorang pemimpin spiritual Hindu, Laxmananda Saraswati, dan empat rekannya pada 23 Agustus tahun itu.

Meskipun Maois mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, warga Hindu garis keras tetap menyalahkan orang Kristen dan melakukan kekerasan mematikan terhadap komunitas ini.

Sapna menjadi target meskipun seorang Hindu, namun dia memiliki keluarga  Kristen.

“Kakek saya adalah seorang Kristen dan saya menjadi korban,” kata Sapna kepada ucanews.com.

Dia mengatakan  sebelumnya dia ingin mati saja menyusul pemerkosaan tersebut, tapi kini “saya ingin keadilan dan  orang-orang yang melakukannya harus dipenjara.”

Namun, tujuh tahun kemudian, tak seorang pun telah dihukum terkait pemerkosaan geng tersebut meskipun kasus tersebut masih ditunda di Pengadilan Tinggi Orissa.

Sapna tahu komunitasnya sekarang melihat dirinya sebagai orang tak berguna akibat serangan tersebut. Dia yakin dia mungkin tidak akan menikah.

“Aku ingin menikah dan memiliki keluarga, tapi tidak ada pria yang akan menikahi saya sebagai istrinya,” katanya. “Saya dihukum untuk sesuatu yang bukan salahku.”

Keadilan gagal

Kekerasan tahun 2008, yang tersebar karena mencakup 600 desa, dan terjadi selama empat bulan, yang mengklaim lebih dari 90 orang tewas.

Sekitar 350 gereja dan 6.500 rumah dijarah dan dibakar, memaksa 56.000 orang mengungsi.

Menurut aktivis, sekitar 10.000 orang belum bisa pulang karena takut penganiayaan. Sejumlah orang berada di daerah kumuh di kota-kota besar negara itu, sementara yang lain telah migrasi ke negara lain.

Dari 827 kasus terkait  kekerasan, 273 kausus telah mencapai pengadilan, sementara hanya 492 orang dari 4.000 terdakwa sejauh ini telah dihukum.

Para pencari keadilan frustrasi dengan lambatnya sistem peradilan India, sejumlah orang Kristen yang menjadi korban kerusuhan tersebut mengadakan konferensi pers di New Delhi pada 8 September untuk menyoroti penderitaan mereka dan ketakutan penganiayaan.

Sehari sebelumnya, para korban, yang menyebut diri mereka Komite Kandhamal untuk Perdamaian dan Keadilan, bertemu dengan Presiden India Pranab Mukherjee meminta bantuannya.

“Dia meyakinkan kami bahwa ia akan mempelajari masalah itu dan berjanji  akan berbicara dengan pemerintah India,” kata Pastor Dibakar Parichcha, penasihat hukum untuk sebagian besar korban kekerasan, kepada ucanews.com.

Sistem peradilan pidana negara itu telah gagal menyelamatkan korban kerusuhan, katanya.

Para korban ingin pemerintah  membuka kembali kasus yang telah sewenang-wenang diberhentikan, dan mencari tahu mengapa banyak keluhan kepada polisi karena pelaku kekerasan itu tidak ditanggap, tambahnya.

Brinda Karat, mantan anggota parlemen India menyuarakan dukungannya kepada para korban.

Bukan hanya mereka tidak menerima keadilan atas kekerasan yang dijatuhkan kepada mereka, katanya, patut “disayangkan tujuh orang Kristen miskin yang tidak bersalah dihukum karena pembunuhan pemimpin spiritual Hindu Laxmananda Saraswati.”

Dia mengatakan sistem peradilan pidana di negara bagian itu tidak adil meskipun Maois secara terbuka mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

0913b [1]Kanaka Rekha Nayak (tengah) melarikan diri dari rumahnya setelah  kerusuhan anti-Kristen tahun 2008 di Odisha. Dia duduk didampingi Pastor Dibakar Parichcha (kanan) pada konferensi pers di New Delhi, 8 September.

 

Masalah mata pencaharian

Selain kurangnya keadilan, komunitas Kristen Odisha, terutama di distrik Kandhamal, terus hidup dalam ketakutan dan berjuang  memenuhi kebutuhan akibat  kerusuhan.

Banyak pria, yang satu-satunya pencari nafkah keluarga mereka, tewas dalam kekerasan yang mengakibatkan orang yang mereka cintai harus berjuang sendiri.

Banyak wanita mulai bekerja di ladang sebagai buruh harian selama musim panen, hanya  mendapat 100 rupee (1,5 dolar AS) per hari.

Selama musim tersebut, mereka bekerja di hutan, menjual apa yang mereka kumpulkan sehingga bisa  mendapatkan sekitar 60-50 rupee per hari.

Pastor Ajaya Kumar Singh, yang telah membantu para korban, mengatakan kepada ucanews.com bahwa ada banyak keluarga yang tidak pernah kembali ke Kandhamal setelah kekerasan.

Kanaka Rekha Nayak dan suaminya terperangkap dalam kekerasan. Dia diancam dibunuh dan ia melarikan diri dan sekarang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Bhubaneswar, ibukota Odisha.

Nayak, seorang Katolik, memiliki dua putri berusia 12 dan 10 tahun dengan seorang lansia cacat akibat polio. Dia mengatakan sulit memenuhi kebutuhan dengan pendapatannya sedikit.

Pastor Singh mengatakan peluang kerja  buruk dan standar hidup bagi orang Kristen adalah norma di negara bagian itu.

Ini telah menyebabkan perdagangan anak perempuan Kristen, katanya.

“Agen menggoda gadis-gadis yang mencari kerja yang baik dan mengirim mereka ke bagian lain dari India. Kami telah diselamatkan beberapa dari Delhi, Agra dan dari beberapa bagian negara bagian Maharashtra,” katanya.

“Ini adalah tren yang berbahaya dan kami sangat prihatin tentang hal itu karena para gadis ini tidak bersalah, berpendidikan rendah dan rentan karena tidak pernah bepergian di luar Odisha.”

*Nama Sapna telah diubah untuk melindungi identitasnya.

Sumber: ucanews.com [2]