UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Serakah

September 21, 2015

Serakah

Ilustrasi

 

Ketika menyaksikan berita di media elektronik maupun membaca di media massa tentang ulasan perpolitikan di negeri ini, rasanya ironis. Ironis menyaksikan badut-badut berlaga di panggung para politikus. Rasanya geram dan gemas mendengarkan pembicaraan mereka yang ingin dinaikkan gaji, tunjangan , dan keinginan membangun gedung yang harganya fastastis. Belum lagi mantan para pejabat yang sekarang menjadi pesakitan. Kita berpikir, “Mereka sudah berkecukupan, masih kurang apa lagi?”

Serakah, itulah jawabannya. Kata serakah itu berasal dari bahasa Jawa, srakah, yang berarti rakus kepada harta benda atau harta karun. Ingat, keserakahan itu akan menjatuhkan diri sendiri (Bdk “Kisah Qarun”).

Kita pun menjadi ingat bahwa sesuatu yang berlebihan itu mengganggu keseimbangan, Omne nimium naturae inimicum, semua yang serba berlebihan itu bertentangan dengan kodrat alam. Akibatnya, orang yang serakah itu cepat atau lambat akan masuk bui.

Bui pada zaman Bung Karno diisi orang-orang yang menentang penjajah (tahanan politik, seperti Penjara Bastille di Prancis). Namun sekarang, bui penuh dengan para koruptor, bandar dan pengedar narkoba, juga penjahat. Inilah yang disebut Ronggowarsito (1802–1873) sebagai “Zaman Edan”.

Lantas dalam hati kita bertanya, “Mengapa banyak orang kaya itu tidak pernah puas dengan yang dimilikinya?” Komaruddin Hidayat dalam khotbahnya bertajuk “Pelita Hati” pada stasiun swasta mengungkapkan, orang-orang yang selalu berkekurangan itu memiliki mental orphan, yatim-piatu.

Mental orphan adalah mental yang merasa diri kurang terus-menerus. Karena itulah, ingin diisi dan menumpuk harta agar merasa tenang dan nyaman. Kebalikan dari mental orphan adalah sang pemberi.

Keinginan manusia itu memang tidak terbatas. Sudah ingin satu, jadi mau dua. Sudah punya dua, ingin empat dan seterusnya. Inilah yang dalam “Kata-kata Motivasi” disebut the law of two, hukum dikalikan dua.

Tidak heranlah jika Mahatma Gandhi (1869–1948) mengatakan, “Planet Bumi ini cukup untuk seluruh penghuninya, namun tidak cukup bagi orang-orang yang serakah.”

Lantas kita berkata, “Luar biasa keserakahan manusia itu kalau bisa sumber daya alam dikeruk hingga habis tak tersisa dan tidak ingat lagi akan anak cucu.”

Mungkin kita pernah mendengar kisah Diogenes yang tersohor. Antony de Mello (1931-1987)  dalam bukunya yang berjudul Burung Berkicau berkisah seperti ini.

Diogenes, seorang filsuf, makan ubi
sebagai santap malamnya. Hal itu
dilihat oleh rekannya, filsuf
Aristippos yang hidup enak dan
mewah karena menjilat raja.

Aristippos berkata,
Kalau engkau mau belajar
menghamba kepada raja,
engkau tidak perlu lagi hidup
dengan makan sampah
seperti ubi itu.”

Jawab Diogenes,
“Jika engkau sudah belajar
hidup dengan makan ubi,
engkau tidak perlu menjilat raja.”

Diogenes sudah merasa cukup dengan hidupnya selama ini. Dia pantas disebut “orang kaya”. Pepatah Inggris menulis, “He is rich that has few wants”, ia yang keinginannya tidak berlebih adalah orang kaya. Ini sudah dibuktikan oleh Ki Ageng Suryomentaram, “Rengeng-rengeng adol dhawet” – si penjual cendol di tepi jalan ternyata bisa berbahagia. Sementara itu, yang naik mobil menangis tak tertahankan. Kekayaan dengan kata lain belum tentu menyebabkan kebahagiaan.

Saya menjadi ingat buku yang berjudul The Pearl tulisan John Steinback (1902–1968). Ketika seorang nelayan bernama Kino yang merupakan suami Juana itu mendapatkan mutiara terbesar di dunia, semua mata terbelalak. Mereka ingin memilikinya hingga korban berjatuhan, termasuk anaknya sendiri yang bernama Coyotito. Akhir dari kisah, penemu mutiara itu membuang mutiara tersebut di tengah laut. Setelah itu, ia merasa damai.

Penulis adalah rohaniwan.

Renungan ini telah diterbitkan di sinarharapan.com pada 19 September 2015

 

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi