UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pengaruh Islam merambat ke sekolah-sekolah misi di Malaysia

Pebruari 12, 2016

Pengaruh Islam merambat ke sekolah-sekolah misi di Malaysia

 

Sekolah mana yang tepat untuk anak-anak Anda di Malaysia? Tentu saja sekolah-sekolah misi menjadi pilihan.

Reputasi mereka sebagai sekolah unggulan dan berkualitas terus menarik anak-anak dari seluruh negara itu, dan ini membuat pemerintah kecewa.

Alasannya bervariasi, ada yang yakin bahwa sekolah misi menegakan kedisiplinan dan tempat aman bagi non-Muslim di sebuah negara dengan Islamisasi yang cepat.

Tapi, pandangan sekolah seperti tempat perlindungan bagi non-Muslim mungkin sebuah fatamorgana.

Ada tiga jenis sekolah di negeri ini: sekolah negeri, sekolah subsidi pemerintah dan sekolah swasta. Sebagian besar sekolah misi adalah subsidi pemerintah. Staf mereka diangkat dan dibayar oleh pemerintah. Gereja mempertahankan kepemilikan properti.

Jika otoritas Gereja memiliki calon untuk kepala sekolah, mereka dapat mengusulkan bahwa orang-orang ini akan diangkat tetapi hak istimewa ini secara bertahap terkikis.

Sekolah subsidi pemerintah lainnya adalah sekolah-sekolah “vernakular” yang melayani warga Cina dan India yang menggunakan bahasa Mandarin dan bahasa Tamil sebagai bahasa pengantar. Semua biaya pendidikan sekolah dasar dan menengah negeri tidak dipungut biaya alias gratis.

Semua sekolah, termasuk sekolah misi dianggap sekolah negeri selama mereka dibantu pemerintah. Sekolah-sekolah misi di Malaysia menyerah privasi mereka dan setuju didanai pemerintah sejak tahun 1970-an karena mereka sendiri tidak bisa lagi mendukung sekolah ini secara finansial.

Ada 448 sekolah Kristen dan misi di negara ini. Dari jumlah tersebut, 228 berada di negara-negara bagian di Borneo (Kalimantan) yang secara tradisional adalah Kristen – Sarawak (130) dan Sabah (98).

Suster Rita Chew, ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Kota Kinabalu mengatakan kepada ucanews.com bahwa ia prihatin menjaga integritas pendidikan dalam iklim segregasi agama meningkat, kecurigaan dan kelemahan politik.

“Sejumlah orang tampak sangat berniat mendorong agenda Islam dari TK,” kata Suster Chew.

“Ini adalah keperhatinan utama kami. Konversi berlangsung di sekolah-sekolah, tetapi mereka (pemerintah) membantah itu. Ini yang terjadi di taman kanak-kanak. Orangtua Kristen menemukan anak-anak mereka belajar doa-doa Islam,” katanya.

Konversi dilaporkan terjadi di semua sekolah. Ada bias terhadap siswa non-Muslim.

Orangtua non-Muslim memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka di sekolah-sekolah misi.

Pendidikan di Malaysia dikontrol oleh Departemen Pendidikan dan wajib sampai selesai sekolah dasar. Bahasa Melayu dan bahasa Inggris adalah pelajaran wajib. Semua sekolah, kecuali sekolah vernakular, diinstruksikan menggunakan bahasa Melayu. Di sekolah-sekolah vernakular menggunakan bahasa Mandarin dan bahasa Tamil.

Hingga saat ini, banyak orangtua Muslim tetap tertarik menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah misi.

Persentase Muslim di sekolah-sekolah misi ditentukan oleh lokasi sekolah. Sekolah-sekolah di daerah dengan mayoritas Muslim akan menjadi mayoritas di sekolah tersebut.

“Mereka memilih sekolah misi karena lebih disiplin dan tempat di mana fokusnya adalah pada aspek akademik, bukan agama,” kata seorang guru pensiun yang berbicara anonimitas.

Kasus bias rasial dan agama di semua sekolah telah menimbulkan kegelisahan.

Tahun 2013, seorang pelaku memaksa para siswa non-Muslim untuk makan siang di toilet sekolah selama bulan puasa.

Orangtua Kristen asli Sarawak dan Sabah telah berulang kali mengeluh di mana guru agama Islam berupaya mengkonversi anak-anak mereka.

“Agama kami adalah Kristen. Kami sangat marah … sekolah berubah status anak-anak kami menjadi Melayu,” tulis sekelompok orangtua di Sarawak dalam sebuah surat kepada kepala serikat guru tahun 2010.

Pada November tahun lalu, pengangkatan ustadz sebagai kepala sekolah misi di Sarawak menimbulkan protes di tengah meningkatnya laporan tentang konversi di sekolah pedesaan. Sarawak dan Sabah memiliki populasi Kristen yang besar.

Siti, seorang ibu Muslim dari dua anak, memiliki alasan sederhana mendaftarkan putrinya di sekolah misi. Dia juga adalah tamatan dari sekolah misi tahun 1970-an.

Dia juga mencontohkan bahwa putrinya lebih percaya diri dan rajin dibandingkan dengan anaknya yang tamat dari sekolah negeri.

Siti mengakui bahwa sekolah misi menekankan kedisiplinan dan keunggulan akademik.

Faktor lain yang menentukan sekolah misi berbeda dengan sistem negeri di Malaysia adalah “check and balance”, peran otoritas Gereja.

Julia, mantan karyawan sekolah misi, juga berpikir serupa. “Ini merupakan perbedaan utama sekolah misi kalau dibandingkan dengan sekolah negeri,” katanya,

“Sekolah negeri berorientasi pada hasil dan tidak fokus pada pendidikan berkualitas,” katanya.

Seorang pengusaha yang hanya menyebut namanya Jas, mengatakan kepada ucanews.com bahwa ia lebih memilih sekolah misi untuk menyekolahkan anaknya dan lebih menyukai siswa yang tamatan dari sekolah misi untuk bekerja di perusahaannya.

Dia mengatakan para siswa Melayu Muslim dari sekolah negeri tidak perlu belajar keras, sementara lulusan sekolah misi Cina non-Muslim, India dan Kristen harus “bekerja lebih keras agar mereka bisa berhasil.”

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi