UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Menyusul pembunuhan anak, hukuman mati diperdebatkan di Taiwan

April 4, 2016

Menyusul pembunuhan anak,  hukuman mati diperdebatkan di Taiwan

Tsao Tien-so, seorang pelaku pembunuhan dibawa oleh polisi ke pusat tahanan sebelum dieksekusi di kota Taipei pada 5 Juni.

 

Pembunuhan seorang gadis berusia 4 tahun di Taipei oleh orang asing telah menghidupkan kembali perdebatan tentang penerapan hukuman mati di Taiwan.

Gadis belia itu dijuluki “Little Light Bulb” bersama ibunya Claire Wang bersepeda menuju stasiun metro pada 28 Maret ketika seorang pria pengangguran berusia 33 tahun menyerang dia dengan pisau.

Tersangka, Wang Ching-yu, telah ditahan. Polisi mengatakan ia memiliki riwayat penyalahgunaan obat terlarang dan menderita gangguan mental.

Kemarahan publik meluas dan hukuman mati dihidupkan kembali di Taiwan, yang telah mengeksekusi 32 penjahat sejak 2010.

Banyak diskusi telah terjadi di media online di mana  banyak netizens mendukung penerapan hukuman mati di negara itu.

Sebuah foto dengan tulisan: “Mendukung hukuman mati untuk melawan pembunuh yang membunuh anak-anak,” memperoleh lebih dari 230.000 share di Facebook dalam waktu kurang dari 24 jam. Sebuah halaman Facebook dengan tema yang sama menerima lebih dari 240.000 “like” dalam periode waktu yang sama.

Banyak netizen Taiwan juga menuduh penentang hukuman mati mengabaikan keamanan dan keselamatan masyarakat Taiwan.

Aliansi untuk Menghentikan Hukuman Mati Taiwan telah dibanjiri oleh pesan dari para pendukung hukuman mati yang marah atas pembunuhan anak tersebut.

Kelompok ini bahkan mendapat sorotan seorang anggota parlemen Kuomintang, Yan Kuanheng, yang memposting di Facebook: “Aliansi untuk Menghentikan Hukuman Mati Taiwan tidak boleh menutupi semua tahanan hukuman mati, terutama pembunuh anak”.

Kepala eksekutif kelompok itu Lin Hsinyi menanggapi para pendukung hukuman mati di Facebook.

“Saya tahu semua orang sedih dan marah. Tapi hanya bersuara untuk hukuman mati tidak bisa memecahkan masalah yang sebenarnya,” tulis Lin.

David Chiu, seorang Katolik di Taipei dan penentang hukuman mati, mengatakan para pendukung hukuman mati bereaksi emosional.

“Orang-orang sekarang menggunakan perdebatan hukuman mati sebagai bentuk reaksi emosional mereka,” kata Chiu kepada ucanews.com.

Perwakilan Takhta Suci di Taiwan, Msgr Paul Russell, mengatakan ia mendukung gerakan anti hukuman mati selama masa jabatannya, yang dimulai tahun 2008.

“Kita belum berhasil membangun konsensus yang lebih besar untuk penghapusan hukuman mati,” kata Msgr Russell, 30 Maret.

“Orang-orang akan terus melakukan kejahatan yang sangat mengerikan. Kita melihat beberapa hari lalu di MRT di Taipei,” katanya. “Tapi mengeksekusi penjahat bukanlah jawaban. Paus Fransiskus sangat jelas menentang hal ini.”

Sebagai bagian dari Tahun Kerahiman, Paus Fransiskus pada Februari menyerukan moratorium global terkait hukuman mati.

Claire Wang, ibu dari korban mengatakan di akun Facebook-nya bahwa dia tidak ingin orang-orang menggunakan kematian putrinya untuk berdebat hukuman mati.

“Bagi saya, saya benar-benar ingin damai,” tulis Wang.

Berbicara kepada media, Wang juga mengatakan jangan memanfaatkan pembunuhan putrinya sebagai bahan argumen politik, lapor AFP.

Tsai Ing-wen, presiden terpilih Taiwan mengatakan bahwa jika hukuman mati harus dihapuskan perlu ada konsensus publik tentang isu dan kebijakan itu diterapkan. Taiwan memiliki moratorium hukuman mati tahun 2006-2010.

Sumber: ucanews.com

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi