UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Sejumlah umat Katolik di Asia Tenggara bingung sikap Gereja terkait perceraian

April 21, 2016

Sejumlah umat Katolik di Asia Tenggara bingung sikap Gereja terkait perceraian

Sebuah keluarga berjalan melewati poster Paus Fransiskus di dalam stasiun kereta api di Manila selama kunjungannya ke Filipina tahun 2015.

 

Dalam  tiga feature, ucanews.com mengeksplorasi reaksi dan isu-isu tentang Cinta dalam Keluarga menurut pandangan para pemimpin Katolik di wilayah kami dalam hubungan dengan seruan apostolik Paus Fransiskus, “Amoris Laetitia” (Sukacita dalam Cinta),  yang dikeluarkan 8 April. Feature ini adalah seri terakhir dari beberapa seri, yang mempelajari masalah perceraian di Asia Tenggara.

 

Selama 10 tahun terakhir, Natasya, seorang wanita Katolik dari Matraman, Jakarta Timur, tidak menerima Komuni.

“Itu adalah sesuatu yang sulit,” katanya. “Tapi, aku tidak punya pilihan. Ini merupakan ajaran Gereja Katolik. Saya harus mematuhinya,” kata wanita berusia 36 tahun ini.

Natasya menikah dengan seorang pria Muslim melalui pernikahan sipil tahun 2000. Tapi, dia merasa sulit untuk beradaptasi dengan suaminya yang berbeda agama. Pasangan ini bercerai 11 tahun kemudian.

Ibu dari satu anak itu tahu bahwa dia “hidup dalam dosa” dan tidak bisa menerima Komuni.

“Pada awalnya saya merasa kesal dengan ajaran Gereja,” katanya. “Yesus datang untuk orang berdosa, kan?”

Akhirnya, Natasya pergi menemui seorang imam di paroki. “Saya berpikir bahwa Yesus tidak pernah menolak mereka yang bersedia untuk bertobat,” katanya.

Menanggapi seruan Paus Fransiskus tentang Amoris Laetitia, Natasya merasa lega.

“Saya setuju dengan Paus Fransiskus,” katanya. “Para pastor harus lebih memahami situasi yang dihadapi oleh umat Katolik,” katanya.

0421h

Seorang pro diakon memberikan Komuni selama Misa Pekan Suci di Filipina. 

 

Pendekatan pastoral

Seruan apostolik Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, atau “Sukacita dalam Cinta,” datang pada saat banyak umat Katolik menyerukan untuk “mengurangi penghakiman dan lebih berbelarasa.”

Cory Villafania, seorang pensiunan guru dan salah satu peserta awam dalam Sinode Para Uskup tentang Keluarga tahun 2015 di Vatikan, mengatakan seruan Paus “memberi kami makna yang lebih tentang mencintai, terutama dalam keluarga.”

Dia mengatakan Amoris Laetitia menunjukkan bahwa “cinta adalah kesabaran … cinta berusaha memahami dan berdialog.” Dokumen itu menghormati pribadi manusia meskipun ada kekurangannya.

Villafania mengakui bahwa ada masalah yang tidak ditangani atau tidak diberi banyak penekanan dalam dokumen itu.

Dia mengatakan masalah ini harus ditangani dengan “kelembutan, inklusif, dan pendampingan.”

Pendekatan pastoral diperlukan untuk mengatasi masalah budaya lokal, kata Villafania, seraya menambahkan bahwa Amoris Laetitia memberikan para pastor kebebasan “untuk membedakan dan mempertimbangkan realitas di daerah mereka.”

Pastor Hibertus Hartana MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia, mengatakan seruan Bapa Suci merupakan tantangan bagi Gereja untuk lebih memperhatikan kehidupan keluarga.

“Ini berarti bahwa kita harus berpihak pada kehidupan nyata keluarga dengan semua masalah konkret mereka,” kata imam itu.

“Pendekatan ini tidak hanya tentang ajaran, tetapi juga bagaimana kehadiran Gereja Katolik, melibatkan diri dan menyapa keluarga melalui perhatian spiritual, penghiburan, dan dorongan,” tambah Pastor Hartana.

Paus Fransiskus menekankan dalam Amoris Laetitia bahwa pelayanan pastoral untuk keluarga harus konsisten sesuai situasi kehidupan dan pengalaman nyata keluarga.

Bergulat dengan misi Paus tentang belarasa

Di Filipina, umat Katolik berharap para uskup Gereja akan menerjemahkan dokumen Paus, yang mendorong tema berbelarasa dalam pedoman pastoral mereka.

“Ini adalah sebuah dokumen besar,” kata Antonio La Vina, seorang profesor di Universitas Ateneo de Manila yang dikelola Yesuit. “Saya senang bahwa Paus Fransiskus menekankan belarasa, hati nurani, dan kearifan,” katanya.

Dia mencatat bahwa dokumen itu mengingatkan semua orang untuk tidak mendiskriminasikan kaum gay dan menunjukkan bahwa seks bukan hanya untuk prokreasi.

Uskup Agung Socrates Villegas, ketua presidium Konferensi Waligereja Filipina, menekankan bahwa Amoris Laetitia tidak berangkat dari ajaran Gereja.

“Hal ini, Paus ingin melihat perubahan yang signifikan,” kata Uskup Agung Villegas dalam sebuah surat pastoral kepada umat Katolik yang dirilis menyusul seruan Paus.

Prelatus itu mengatakan Paus Fransiskus menghendaki Gereja untuk menunjukkan sikap “belarasa, tidak mengabaikan dosa, tetapi mencintai orang berdosa, dan berdoa untuk dia, membantu dia dan merangkul dia bahwa ia mungkin meninggalkan dosa dan menerima sepenuh hati terhadap kasih karunia yang terus diberikan kepada dia.”

0421i

Paus Fransiskus mengadakan pertemuan dengan keluarga Filipina selama kunjungannya ke Filipina tahun 2015. 

 

Harapan untuk rekonsiliasi

Selama kunjungan Paus Fransiskus ke Sri Lanka dan Filipina tahun 2015, pria dan wanita, pasangan suami-istri, gay dan lesbian, pasangan di luar nikah, serta pasangan yang berjuang  untuk menggunakan kontrasepsi berada di antara kerumunan massa yang berbaris di jalan-jalan Colombo dan Manila.

Beberapa percaya karismatik Paus Fransiskus akan membuat sebuah revolusi doktrinal dalam Gereja di mana perubahan waktu berabad-abad. Tetapi, mereka yang telah merasa seperti orang di luar Gereja mereka mengatakan pesan Paus Fransiskus tentang belarasa memicu harapan untuk rekonsiliasi.

Berbagai reaksi terhadap Amoris Laetitia – pujian, optimisme, waspada, ketakutan dan bahkan penolakan.

“Bagi beberapa orang, Paus Fransiskus tidak pergi cukup jauh, bagi yang lain, ia telah melintasi batas-batas doktrinal,” kata La Vina. “Saya pikir dia memilih berada di tengah-tengah dengan pendekatan pastoral bahwa umat Katolik akan menghormati.”

Uskup Agung Villegas menekankan bahwa Paus tidak memaafkan “siapa pun yang mungkin salah atau berdosa,” karena dia menyerukan untuk lebih redah hati, persahabatan, bahkan persekutuan dan solidaritas dengan mereka yang hidupnya menyimpang dari ajaran Gereja tradisional.

Menjaga iman

Pada Januari 2015, Liberty Blancaflor menghabiskan enam jam di bawah hujan lebat menunggu Paus lewat di sepanjang Jalan Roxas Boulevard di Manila. Sebagian besar waktu, dia secara diam-diam berdoa “kepada Roh Kudus untuk menjamah hati klerus yang keras.”

Tahun 1990-an, Blancaflor berada di tengah-tengah hubungan yang sulit. Dia meminta nasihat pastoral dari seorang imam yang mengatakan istrinya harus menahan diri menerima Komuni hingga dia memutuskan hubungannya.

“Saya pikir dia akan membantu saya, tetapi ia menolak. Dia bahkan mengecam saya,” kata Blancaflor kepada ucanews.com.

Dia terus mencari bimbingan rohani selama dua tahun. Dia berjuang untuk melarikan diri dari pasangan yang perlakuan kasar. Dia tetap seorang Katolik yang taat, menghadiri dua sesi doa mingguan, selain Misa hari Minggu. Dia menikah lagi dan menerima Komuni.

Tapi, dia tidak lagi pergi ke tempat pengakuan.

Tantangan untuk para pastor

Pastor Hartana dari Indonesia mengakui bahwa para pastor harus belajar dari keluarga. “(Banyak imam) sering tidak memiliki keterampilan untuk memahami kompleksitas keluarga,” katanya.

Dia mengatakan keluarga-keluarga Katolik di Indonesia sering dibebani oleh masalah keuangan dan “tantangan” lainnya.

Imam itu mengatakan para pastor di Indonesia menggunakan “kearifan lokal” sebagai bagian dari pelayanan pastoral mereka untuk keluarga. Dia mengatakan bahwa berbagai budaya di negeri ini, sebuah “proses inkulturasi” diperlukan.

Namun, Cory Villafania mengatakan pernikahan masih mungkin bahkan di antara orang dari agama yang berbeda selama “cinta lebih kuat dari perbedaan.”

Dia mencatat bahwa beberapa umat Muslim dan Kristen mengabaikan agama mereka untuk menikah. “Tidak ada bimbingan,” kata Villania.

“Jika Anda seorang Muslim taat atau Katolik sejati, Anda akan mencari kesepakatan dan pemahaman sebelum bersatu,” kata Villafania.

Namun, Uskup Gerardo Alminaza dari San Carlos mengatakan Amoris Laetitia “tidak harus menyelesaikan segala sesuatu.”

Dia mengatakan bahwa dengan dokumen itu, Paus telah mempercayakan para uskup dan pastor, di berbagai daerah, bekerja “mendampingi, mengintegrasikan, dan mengungkapkan kedekatan dan kepedulian terhadap mereka yang terluka atau merasa dikecualikan.”

“Dalam membentuk hati nurani, kami memberdayakan umat beriman kami untuk membuat keputusan dalam terang Firman dan iman kita,” kata Uskup Alminaza.

Dia mengatakan tantangan bagi para uskup dan imam adalah memberikan “pendampingan memadai” sehingga pasangan dan keluarga merasa dituntun, diberdayakan, dan didukung.”

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi