UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Aktivis pro demokrasi kritik pemerintah terkait praktek intimidasi

Mei 13, 2016

Aktivis pro demokrasi kritik pemerintah terkait praktek intimidasi

 

Pejabat dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ikut mengkritik pemerintah terkait berbagai bentuk aksi kekerasan, intimidasi terhadap masyarakat sipil yang dituding sedang berupaya menyebarkan paham-paham tertentu, seperti komunisme.

“Ini berlebihan dan pemerintah tampaknya menghidupkan lagi watak otoritarianisme,” kata Azas Tigor Nainggolan dari Forum Advokasi dan HAM KWI kepada ucanews.com pada 13 Mei.

Dalam sebuah pernyataan resmi pada 12 Mei, sejumlah LSM pro demokrasi yang bergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi mencatat bahwa terjadi 41 kasus pengabaian hak sipil sepanjang Januari 2015-Mei 2016 dalam bentuk pelarangan, intimidasi, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, pembredelan dan pencekalan.

Selain razia kaos dan buku yang berbau kiri, pembubaran diskusi publik oleh aparat pun sering terjadi dan tak jarang melibatkan kelompok-kelompok intoleran.

Kasus-kasus ini termasuk pelarangan pemutaran film “Pulau Buru di Tanah Air Beta” oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta pada awal bulan ini. Film itu sebenarnya hendak ditayang dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Kasus lain adalah intimidasi yang dialami Azas Tigor Nainggolan, setelah fotonya di mana ia mengenakan baju bergambar palu-arit, yang diidentikkan dengan komunisme, tersebar di media.

“Itu foto saat saya mengikuti sebuah acara di Jakarta pekan lalu. Bajunya saya beli dari Vietnam 3 tahun lalu. Dan, itu hanya sebatas baju, tapi orang menuding bahwa saya ikut mendukung komunisme di Indonesia,” katanya.

“Saya mengalami intimidasi, dan diteror oleh orang-orang yang tidak tahu asalnya dari mana, tetapi mereka adalah kelompok garis keras,” katanya.

Nainggolan menegaskan, ini menjadi bukti bahwa reformasi pada 1998, di mana Presiden Soeharto yang dikenal otoriter jatuh, ternyata tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kebebasan sipil di Indonesia.

“Ini tanda bahwa pada 18 tahun lalu itu yang runtuh hanya Soeharto, tetapi watak Orde Baru-nya belum runtuh dan masih dipertahankan sampai sekarang,” katanya.

“Sampai sekarang masih ada ancaman kekerasan, terhadap kelompok-kelompok kritis dan gayanya sama dengan yang dahulu dilakukan Soeharto,” katanya.

Alghifari Aqsa, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menuturkan banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat dalam menindak individu atau kelompok yang dianggap berafiliasi atau menyebarkan paham tertentu.

Jika hal tersebut terus dibiarkan, kata dia, bukan tidak mungkin ke depan pengaruh Orde Baru bisa bangkit kembali.

“Kalau ada konstruksi kasus seseorang yang membuat propaganda dan menyebarkan paham tertentu itu masuk akal. Tapi itu kan enggak pernah terjadi. Yang ada malah menciptakan fobia dan menyebabkan harapan kembali lagi Orde Baru dan kekuasaan militer,” ucapnya.

Sementara iru, Arfi Bambang Amri, Sekretaris Jenderal AJI mengatakan, tindakan reaktif aparat sangat disayangkan, seperti terkait larangan menonton film yang dialami anggota mereka di Yogyakarta..

“Ini tindakan lucu aparat yang melarang orang menonton. Orang bisa saja nonton di mana saja, bisa mendapatkan dari Youtube atau lainnya,” katanya.

Ia menilai, larangan itu justru merupakan promosi bagi film tersebut.

Ia menambahkan, berbagai upaya intimidasi hanya melanggengan upaya menutup-nutupi upaya pencarian kebenaran yang sejatinya hanya bisa dilakukan lewat proses-proses diskusi dan dialog.

Ryan Dagur, Jakarta

Baca juga: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi