- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

‘Makanan cinta’ untuk para pengungsi di Hong Kong

 

Setiap dua bulan umat Katolik dan para pengungsi berkumpul bersama berbagi makanan di sebuah kampus sekolah tinggi yang berdekatan dengan Gereja St. Petrus dan Paulus di distrik Yuen Long, Hong Kong.

Diselenggarakan oleh paroki dan Serikat St. Vincent de Paul, tujuan “makanan cinta” itu adalah mendobrak hambatan di antara orang awam Hong Kong dan pengungsi, yang sebagian besar berasal dari Asia Selatan dan Afrika.

“Kami berharap pertemuan itu adalah jembatan komunikasi, menawarkan warga setempat kesempatan untuk bertemu para pengungsi sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman dan menghilangkan bias,” kata David Shum dari Serikat St. Vincent de Paul.

“Para pengungsi tidak diizinkan bekerja dan banyak dari mereka mendiami kawasan Yuen Long karena sewa rumah murah. Beberapa pengungsi bahkan tinggal di bekas kandang babi,” kata Shum.

Belasan relawan pada 10 Juli berkumpul menyiapkan makan siang dan mendistribusikan susu bubuk formula, biskuit, popok dan tas kepada 100 pengungsi dari 50 keluarga.

Selain makanan dan barang-barang bantuan, panitia juga mengadakan “pasar loak,” yang memberikan buku, mainan, pakaian dan sepatu gratis.

“Biarkan mereka memilih apa yang mereka inginkan sehingga mereka bisa merasa bermartabat. Orang Hong Kong yang kaya dan memiliki banyak harta yang tidak digunakan. Tapi, ini paling dibutuhkan oleh masyarakat miskin,” kata Shum.

Pastor Gervais Baudry, pastor paroki, mengatakan bahwa sejak peluncuran makanan cinta tahun lalu, dari mulut ke mulut berarti agar lebih banyak pengungsi berpartisipasi dalam pertemuan itu.

“Kami melayani umat beriman di gereja, tetapi kami juga perlu memperhatikan non-Muslim. Paus Fransiskus mengajak kita untuk menjangkau, bertemu orang-orang dan melayani mereka,” kata Pastor Baudry.

Serikat St. Vincent de Paul juga mengundang LSM lain untuk pertemuan itu. Salah satunya adalah Pathfinder amal yang menyediakan bantuan untuk ibu tunggal dan anak-anak migran.

“Kami memberikan konseling bagi mereka dan membantu mereka membuat prosedur aplikasi untuk pulang. Kami juga mensponsori tiket pesawat mereka,” kata manajer Pathfinder Lia Ngatini.

Sekitar 70 persen dari orang-orang yang membantu organisasinya berasal dari Indonesia, katanya. Kelompok terbesar berikutnya, katanya, berasal dari Filipina.

0729e [1]

Barang yang disumbangkan disediakan untuk para pengungsi yang dikelola Gereja. 

 

Situasi pengungsi Hong Kong

Salah satu dari mereka yang hadir dalam acara itu adalah Daljeet Singh, 33. Dia memiliki bekas luka lama di dagunya ketika keluarganya berusaha membunuh dia karena kawin lari dengan pacarnya, kini menjadi istrinya.

Pernikahan mereka tidak disetujui keluarga, yang mematuhi sistem kasta di India. Dengan bantuan dari teman, pasangan itu melarikan diri ke Hong Kong.

Semua pencari suaka di kota itu dianggap sebagai ‘pengungsi yang mencari keselamatan” karena Hong Kong tidak pernah menandatangani Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

“Kami datang ke sini untuk menyelamatkan hidup kami,” kata Singh.

Status pengungsi yang mencari keselamatan tidak diizinkan bekerja dan harus hidup dengan tunjangan bulanan sekitar  3.000 dolar Hong Kong (387 dolar AS), jumlah itu hampir tidak cukup untuk bertahan hidup.

Tahun 2015, dari 3.000  pengungsi hanya 18 aplikasi memenuhi syarat. Lebih dari 11.000 kasus masih dalam daftar tunggu.

0729f [2]

Daljeet Singh bersama istri dan putri mereka berusia 2 tahun. 

 

Perdebatan

Seperti Eropa, Hong Kong memperdebatkan tentang bagaimana menangani pengungsi. Sejumlah pengungsi khawatir akan menyalahgunakan sistem kesejahteraan sosial sehingga mereka menuntut pemerintah keluar dari UNCAT.

Pada Maret, Ambrose Lee, seorang wakil dari Kongres Nasional Rakyat dan mantan sekretaris keamanan Hong Kong, mengatakan kepada pers bahwa Hong Kong telah menghabiskan lebih dari  300 juta dolar Hong Kong (HK) memverifikasi para pengungsi tersebut. Totalnya bisa naik hingga  1,7 miliar dolar HK pada 2017 karena peningkatan dramatis pengungsi dalam beberapa tahun terakhir, katanya.

Sejumlah orang telah menyarankan untuk membatasi pengungsi ke kamp-kamp untuk mengekang masuknya imigran, memburuknya keamanan, dan ketertiban masyarakat. Dalam tujuh tahun terakhir, sekitar 1.000 pengungsi ditangkap karena bekerja secara ilegal dan lebih dari 3.700 ditahan karena pencurian, narkoba dan kejahatan lainnya, kata Lee.

“Beberapa ayah mengungsi sehingga anak-anak mereka tanpa kewarganegaraan kecuali mereka kembali ke negara asal mereka. Tapi, mereka takut anak mereka akan didiskriminasikan karena warna kulit mereka,” kata Shum.

“Mereka yang datang untuk pertemuan itu tidak semua orang Kristen, tapi kami membantu mereka terlepas agama mereka. Kita harus menyebarkan rahmat, kasih dan membantu siapa saja yang membutuhkan,” kata Shum.

“Kami berharap aksi kami bisa menjadi tanda kasih Kristus, membiarkan non-Katolik memahami bagaimana Gereja Katolik yang peduli terhadap yang rentan,” katanya.

Sumber: ucanews.com [3]