Gubernur Maluku Said Assagaff membuka konferensi internasional kerukunan antarumat beragama di Gedung Islamic Centre, Kota Ambon, Rabu (24/8/2016).
Kegiatan yang digelar untuk membahas berbagai masalah terkait hubungan antarumat beragama ini diikuti 100 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk puluhan peserta dari Belanda.
Dalam sambutannya, Said merasa bangga karena Kota Ambon dipilih sebagai kota penyelenggaraan konferensi tersebut.
Menurut Said, meski Ambon pernah dilanda konflik berbau SARA, namun kini Ambon telah berubah menjadi kota yang sangat toleran dan menghargai perbedaan.
“Kita punya masa lalu yang begitu pahit, dimana saat itu hampir saja tidak ada lagi harapan hidup bagi kita, namun saat ini semuanya telah berlalu dan kita mampu keluar dari konflik berkepanjangan itu,” ungkapnya, seperti dilansir Kompas.com.
Dia mengatakan, Maluku juga terus berupaya untuk menjadi laboratorium kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Kegiatan Konferensi Internasional ini sendiri diselenggarakan berkat kerja sama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) dan Konsorsium Nederland-Indonesia For Muslim-Christian.
Koordinator Konsorsium Nederland-Indonesia For Muslim-Christian, Corrie Van Der Ven usai pembukaan kegiatan tersebut menjelaskan, kegiatan itu bertujuan untuk saling berbagi pengalaman mengenai pengelolaan konflik dan saling menjaga keberagaman antarumat beragama.
“Kita juga ingin belajar dari Maluku bagaimana cara hidup orang Maluku yang toleran dan bagaimana masyarakat di sini memupuk perbedaan,” sebutnya.
Dia menjelaskan, Kota Ambon menjadi pilihan diselenggarakannya konferensi tersebut karena kota ini memiliki banyak cerita tentang bagaimana masyarakatnya dapat keluar dari kemelut konflik kemanusiaan yang pernah terjadi.
“Ambon pernah diterpa konflik kemanusiaan panjang dan semua itu bisa selesai dengan baik, ini sesuatu yang luar biasa,” katanya.
Senada juga diungkapkan koordinator panitia kegiatan, Zainal Abidin Bagir. Ia mengatakan bahwa Kota Ambon dipilih sebagai tempat penyelenggaraan konferensi tersebut karena kotan ini memiliki pengalaman yang begitu luar biasa dalam menyelesaikan konflik sosial.