UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Biarawati Katolik bantu kaum ibu yang hidup dengan HIV

September 16, 2016

Biarawati Katolik bantu kaum ibu yang hidup dengan HIV

Sebagai bagian dari program kesehatan berbasis masyarakat, Suster Mary Grenough (kiri) dan asistennya Juliana Aye Thandar mengunjungi rumah seorang wanita dengan masalah jantung.

 

“Datanglah dan bertemulah dengan orang-orang serta melihat bagaimana mereka hidup,” kata Suster Mary Grenough, saat ia memandu para tamu melewati kawasan kumuh Hlaing Tharyar di Yangon, Myanmar.

Dengan usia 83 tahun, biarawati Maryknoll itu tidak kehilangan gairah dan semangat yang pertama membawa dia untuk melayani orang miskin di negara itu 11 tahun lalu.

“Banyak orang tidak mamiliki cukup makanan, perawatan kesehatan atau pendidikan,” kata Suster Grenough, sambil melewati jalan-jalan sempit, yang bising dan berdebu dengan banyak gubuk bambu,  “warung-warung” kecil di sepanjang jalan.

Puluhan ribu orang dari Delta Irrawaddy pindah ke zona industri ini setelah Topan Nargis menghancurkan rumah-rumah mereka tahun 2008. Mereka datang ke Yangon untuk mencari pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.

Kekhawatiran dengan kelahiran bayi sering dengan HIV di seluruh negeri itu, yang ia tahu bisa dicegah dengan mengobati kaum ibu, kata Suster Grenough, seorang perawat terdaftar dengan pelatihan khusus dalam perawatan ibu dan anak, memulai program kesehatan berbasis masyarakat, “Mary’s Dream,” di Hlaing Tharyar tahun 2014 dengan dana awal dari keluarganya di Amerika Serikat (AS).

Program itu, bagian dari Jaringan HIV/AIDS Katolik yang Suster Grenough juga memulai tahun 2010, menargetkan 328 keluarga di daerah kumuh yang padat penduduk.

Suster itu dan stafnya bekerja di gubuk-gubuk, mengajar relawan bagaimana memberikan pengobatan dan merujuk kasus-kasus serius ke rumah sakit terdekat.

Dari 53 ibu hamil yang mengikuti program ini, hanya empat telah mendapat perawatan prenatal. Obat-obatan yang paling dibutuhkan adalah anemia, kekurangan vitamin atau tekanan darah tinggi.

Para wanita itu tinggal dua mil dari rumah sakit, tapi tidak mampu biaya 6 dolar AS untuk mendaftar di program pemeriksaan prenatal pemerintah.

Suster Grenough dan timnya meringankan beban para ibu melalui program keuangan mikro. Setelah workshop lima hari, 15 keluarga dipilih untuk program itu memungkinkan peserta mengakses pinjaman kecil dengan bunga rendah untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan.

Tahun pertama Mary’s Dream, empat orang yang hidup dengan HIV menerima pengobatan.

“Sebelumnya, saya tidak bisa berjalan, bahkan hanya duduk di kursi,” kata salah seorang wanita bernama Aye Aye, penderita TB.

“Saya harus minum obat TB selama enam bulan sebelum mendapatkan ART dari rumah sakit yang dikelola pemerintah.”

0916e

Seorang perawat memeriksa bayi sebagai bagian dari program kesehatan berbasis masyarakat yang disebut “Mary’s Dream.” 

Wanita berusia 42 tahun ini mengatakan ia menerima pinjaman  50.000 kyat (sekitar 45 dolar AS) dan bisa membuka kios di depannya dengan ukuran 10×15.

Dia sekarang menjual pinang, makanan ringan dan minuman dingin. Suaminya, yang hidup dengan HIV, adalah buruh harian dan mendapatkan upah  380.000 kyat (sekitar 3 dolar AS).

“Saya sangat berterima kasih kepada Suster Mary yang membantu saya dan memotivasi saya,” kata Aye Aye.

Tim Suster Grenough ini bekerja sama dengan Jaringan Interfaith HIV/AIDS dalam kegiatan lainnya, termasuk acara malam renungan dengan menyalakan lilin setiap tahun dan kegiatan peringatan Hari AIDS Sedunia. Peristiwa ini memberikan kesempatan bagi umat Buddha, Muslim, Hindu dan Kristen belajar saling menghormati.

“Interaksi warga tanpa memandang latar belakang agama dan etnis mereka karena pelayanan yang paling diutamakan,” kata Suster Grenough.

Sementara masalah perang saudara dan orang-orang terlantar menjadi berita utama, Myanmar masih memiliki salah satu tingkat tertinggi kasus HIV baru di Asia. Tahun 2014, UNAIDS memperkirakan jumlah orang yang hidup dengan HIV di Myanmar sekitar 210.000 jiwa atau satu dari setiap 200 orang. Sekitar 120.000 tidak menerima pengobatan, meski mereka menyadari mereka memiliki penyakit tersebut.

“Donatur asing kini mendanai apa yang mereka anggap prioritas,  seperti bantuan darurat bagi para pengungsi dan tanggap bencana,” kata Uskup Alexander Pyone Cho, Ketua Komisi Pastoral Kesehatan Konferensi Waligereja Myanmar.

Uskup Cho mengatakan karya MCHAN telah membantu Gereja lokal di seluruh Myanmar menjadi lebih sadar dengan HIV/AIDS, dan fokus pada pendidikan untuk pencegahan dan perawatan bagi semua yang menderita virus tersebut, terlepas dari latar belakang agama atau etnis mereka.

Di Myanmar perawatan kesehatan hanya terbatas di kota-kota. Selama lebih dari lima dekade, pengeluaran pemerintah untuk perawatan kesehatan adalah yang terendah di Asia Tenggara.

Namun demikian, “mimpi” Suster Grenough terusmelanjutkan karyanya. Pemilu di November 2015 membawa Liga Nasional untuk Demokrasi oposisi berkuasa dan ada harapan pemimpin baru akan meningkatkan kehidupan rakyatnya.

* Nama-nama peserta program Mary’s Dream telah diubah untuk melindungi identitas mereka.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi