- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Diskriminasi terhadap LGBT terus menguat di Indonesia

 

Memilih merahasiakan identitas seksual dengan keluarga, bagi Lini, seorang lesbian, dianggapnya sebagai pilihan yang aman.

“Sangat beresiko jika sampai semua keluarga tahu,” katanya kepada ucanews.com.

Lini yang kini hampir berusia 30 tahun mengatakan, “Saya hanya terbuka kepada salah satu adik kandung yang kebetulan sangat paham dengan kondisi yang saya alami”.

Meski ia kini menjadi seorang aktivis di Arus Pelangu, lembaga pejuang hak-hak kaum Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT), ia tetap tidak berani memberitahu statusnya kepada keluarga.

Lini lahir di Sumatera dan sejak SMP hingga kuliah ditempuh di lembaga pendidikan Muslim di Pulau Jawa. Ini membuat ia cukup jarang berjumpa dengan keluarganya, hal yang ia anggap sebagai sesuatu yang menguntungkan.

Menjadi LGBT di negara di Indonesia, di mana konservatisme masih sangat kuat, kata dia, paling rentan mendapat diskriminasi, kekerasan serta paling sulit untuk mendapat dukungan.

“Kalau kelompok minoritas agama, di dalam keluarga inti pasti mereka mendapat dukungan. Jadi, keluarga menjadi penopang untuk survive. Untuk LGBT, tidak. Justeru keluarga menjadi pihak pertama pelaku kekerasan,” katanya.

Ia menyebut, ada beberapa rekannya dipaksa keluarga untuk terapi, bahkan menyewa orang melakukan pemerkosaan, agar bisa menyukai lawan jenis.

“Itu mustahil berhasil, tapi prakteknya ada,” katanya.

Rangkaian diskriminasi

Diskriminasi dan sulitnya penerimaan terhadap LGBT, menurut Dede Oetomo, seorang gay dan pendiri organisasi Gaya Nusantara adalah akibat ketidaktahuan tentang keberagaman seksualitas dan gender.

“Ditambah lagi tafsir doktrin agama yang tidak memperhatikan perubahan sosial budaya yang terjadi,” katanya.

Menurutnya, banyak juga politisi yang mempolitisasi homofobia, transfobia demi tujuan politik tertentu, terutama meraih dukungan dari kelompok konservatif.

Tahun ini, permusuhan terhadap LGBT di Indonesia memang menjadi memanas, terutama setelah pada Januari sejumlah pejabat tinggi menyampaikan pernyataan yang menyulut kebencian pada kelompok ini, demikian menurut laporan Human Rights Watch yang dirilis beberapa bulan lalu.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir pada Januari misalnya melarang organisasi mahasiswa pro-LGBT didirikan di kampus-kampus.

Pernyataan itu muncul menyusul adanya kelompok Support Group and Research Center on Sexuality Studies(SGRC) di Universitas Indonesia.

Menteri Pertahanan juga menyebut gerakan memperjuangkan hak-hak gay sebagai “perang proxy” yang dilancarkan oleh negara-negara Barat untuk melemahkan Indonesia.

Dan, ini menurutnya, lebih berbahaya daripada bom nuklir.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan juga menyebut homoseksual seharusnya dilarang di Indonesia karena tak sesuai dengan budaya lokal.

Terungkapnya kasus prostitusi anak oleh polisi di Bogor, Jawa Barat pada 30 Agustus lalu, di mana germonya menyediakan lebih dari 100 anak untuk para gay dan dijajakan lewat Facebook membuat kebencian terhadap LGBT makin parah.

“Stigma negatif menjadi-jadi,” demikian Hartoyo dari organisasi LGBT, Suara Kita, “meski sebenarnya, kasus itu harus dilihat dari segi konteks prostitusi anak.”

“Prostitusi anak oleh hetero juga sangatlah banyak,” katanya.

“Namun, ketika pelakunya adalah LGBT, reaksi banyak orang sangat berbeda, seolah-olah semua LGBT berlaku seperti itu. Padahal, ini murni kejahatan terhadap anak, yang juga kami tolak,” katanya.

Tindakan dikriminatif, menurut Lini, juga dilakukan oleh negara, melalui peraturan-peratuan yang diskriminatif.

Dalam UU tahun 2012 tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, kata dia, LGBT masih dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, meski Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) sebenarnya sudah menghapus kelompok LGBT dari jenis penyakit kejiwaan.

“Teman-teman kami dari kelompok perempuan transgender adalah yang paling rentan mendapat perlakuan semena-mena dari negara maupun kelompok intoleran atas dasar agama,” jelas Lini.

Ia mengatakan, pekerja seks dan pengamen di jalan memang profesi paling tinggi yang dikerjakakan oleh waria.

Data Sanggar Waria Remaja (SWARA) di Jakarta misalnya, dari 224 waria remaja dampingan mereka, 70 persen di antaranya adalah pekerja seks dan pengamen.

“Profesi ini adalah profesi yang secara terpaksa diambil demi bertahan hidup,” kata Lini.

“Tidak ada lapangan pekerjaan lain yang terbuka untuk LGBT. Menjadi buruh yang bekerja di sektor pabrik tekstil pun tak boleh, apalagi bekerja sebagai pegawai di instansi pemerintahan.”

Kini tantangan bagi kaum LGBT makin menguat, mengingat saat ini, sekelompok orang mengajukan gugatan di MK, terkait pasal pidana yang akan mengancam mereka.

Dalam ketentuan pidana saat ini, hubungan seks di luar nikah dinyatakan melanggar hukum jika melibatkan anak kecil yang belum cukup umur dan berlaku baik bagi homoseksual maupun heteroseksual.

Namun, dalam uji materi yang diajukan oleh sejumlah kalangan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA), MK diminta untuk mengubah pasal itu agar berlaku bagi semua umur, khususnya terkait homoseksualitas.

“Ini akan sangat membahayakan,” kata Dede Oetomo dari Gaya Nusantara.

Tantangan

Menurut Lini, perjuangan terkait penghargaan hak-hak LGBT adalah agar mereka tidak lagi mengalami diskriminasi.

“Kami ingin memastikan tidak ada kekerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender,” katanya.

“Perjuangan kami bukan menuntut hak istimewa melainkan hak-hak dasar manusia yang diatur dalam UUD 1945 dan Konvensi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,” katanya.

“Kami mengajak kepada seluruh elemen gerakan prodemokrasi untuk senantiasa saling mendukung, hand in hand dalam perjuangan untuk mewujudkan hidup yang setara.

“Mari berjuang bersama, bergandeng tangan dengan tulus tanpa kecurigaan untuk citai-cita dan harapan masa depan Indonesia yang lebih baik dimana kita semua bersama bekerja merawat kemerdekaan dan kebhinnekaan,” katanya.

Sejak Agustus lalu, mereka juga mengunjungi sejumlah perusahan media, untuk berdiskusi agar mendukung mereka dalam kampanye publik demi menghargai keragaman seksualitas.

“Kami merasa, peran media sangat penting. Karena itu, kami berdialog dengan mereka,” jelasnya.

Dede Oetomo mengatakan, sebetulnya pada tingkatan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih ada yang ramah kepada macam-macam keberagaman, yang menghargai manusia lain bagaimanapun kondisinya.

“Ini perlu diperkuat dengan pendidikan yang baik. Saat ini hal ini harus dilakukan secara gerilya, karena jajaran pendidikan masih bersikap konservatif.”

Ia juga mengatakan, akan berjuang melalui DPR yang kini sedang menggodok revisi KUHAP, sehingga pasal-pasal terkait kesusilaan yang mengkriminalisasi semua hubungan seks di luar perkawinan dihapus.

Namun, hal ini tampaknya masih menghadapi masalah besar, mengingat tantangan masih ada.

Juru bicara Presiden Presiden Joko Widodo, Johan Budi mengatakan kepada media beberapa waktu lalu, sebagai warga negara, siapapun akan dilindungi hak-haknya oleh negara jika mereka mengalami kekerasan, “jadi tidak melihat kecenderungan seksualnya.”

“Namun kalau LGBT diartikan sebagai gerakan untuk mempengaruhi pihak lain, misalnya untuk menjadi seperti mereka, maka itu tidak dibenarkan dan tidak ada ruang di sini,” ujar Johan Budi.

Abdul Malik Haramain, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, juga mengatakan, mestinya LGBT bersyukur karena keberadaan mereka dibiarkan negara.

“Jangan sampai HAM diperalat untuk melegalkan dan mengkomodasi dengan hal-hal yang sudah jelas-jelas mengganggu masyarakat,” katanya.

Pastor Peter C Aman OFM, dosen Teologi Moral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta mengatakan, hak-hak LGBT seharusnya dihargai.

“Sebagai psikoseksual, kaum LGBT tidak bisa diadili jahat atau dianggap melanggar susila, apalagi kondisi tersebut umumnya terjadi sebagai sesuatu yang terberi,” katanya.

Mereka, katanya, tidak lebih rendah dari heteroseksual, yang menurutnya tidak dengan sendirinya baik, karena toh potensi untuk tindakan asusila juga ada.”

Ryan Dagur, Jakarta

Sumber: ucanews.com [1]