- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Kisah pilu kaum tunawisma Jepang

 

Takashi datang dari sebuah desa di Jepang menuju Tokyo untuk mencari pekerjaan. Kini pria berusia 70 tahun mengalami dampak resesi ekonomi tahun 2009,  dia harus bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan kaleng bekas.

“Saat hujan, sulit bagi saya untuk ke luar,” kata Takashi, yang tinggal di salah satu pojok Miyashita Park, daerah pinggiran yang paling populer di Tokyo.

Takashi menunjuk kotak kardus yang ia gunakan sebagai kasur, “Kemarin hujan dan ia masih belum kering.”

Pria ini adalah salah satu dari banyak tunawisma yang mengisi daerah ini. Dia telah tinggal di sana selama enam tahun. Dia tidak memiliki istri atau anak dan kehilangan rumahnya di Akita, sebuah daerah miskin di Jepang bagian utara. Dia memiliki adik, namun telah kehilangan kontak dengan dia sejak meninggalkan kampung halamannya.

“Saya menggunakan waktu dengan mengumpulkan kaleng bekas. Saya mengumpulkan tujuh kilogram setiap hari, kemudian saya jual dan mendapatkan beberapa ribu yen” (1.000 yen saat ini bernilai 9 dolar AS).

Takashi mengatakan ia berterima kasih kepada semua orang yang lewat membuang kaleng kosong.

Takashi datang ke Tokyo untuk mencari pekerjaan, tapi ia terjebak dalam resesi ekonomi tahun 2009 ketika banyak orang di seluruh negeri itu kehilangan pekerjaan mereka.

1123g [1]

Pria tunawisma yang tinggal di Miyashita Park.  

 

Angka resmi menyatakan hanya ada sekitar 3.000 tunawisma di Tokyo dan 25.000 di seluruh negeri itu. Tapi, angka itu tidak benar, menurut sosiolog, Tamaki Matsuo.

“Survei memperkirakan jumlah tunawisma hanya mereka yang tinggal di jalan-jalan,” kata Matsuo.

Akihiro, 52, tinggal di kafe-kafe internet 24 jam di mana ia bisa menghabiskan malam di tempat yang hangat dan dengan hiburan seperti  video game dan YouTube.

Akihiro dan warga lain seperti dia tidak termasuk dalam angka resmi pemerintah, yang ternyata meremehkan masalah tunawisma.

Dia pindah ke Miyashita Park tiga tahun lalu sejak kecil.

Alasannya?

“Uang tentu saja”, katanya. “Tidak ada biaya apapun tinggal di Miyashita Park, toilet tersedia, dan air mengalir setiap saat sepanjang hari.”

“Saya akan melakukan apa pun”, katanya. “Saya diminta membersihkan rumah dan gedung perkantoran, tetapi sulit untuk dipekerjakan jika Anda tidak memiliki alamat. Saya bahkan bisa minta dukungan pemerintah, tetapi permohonan begitu rumit dan sulit.”

Menurut Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, 2,17 juta orang menerima bantuan mata pencaharian tahun lalu. Namun sejumlah orang tidak memenuhi persyaratan.

Ada juga tunawisma yang menolak untuk menerima dukungan publik sama sekali. Langkah pertama untuk menerima dukungan pemerintah yakni tunawisma tidak memiliki agar mereka dapat dukungan secara finansial.

“Tetapi, jika tunawisma mendapatkan pembayaran pemerintah, banyak dari mereka membeli alkohol atau berjudi sehingga mereka menghabiskan semuanya, orang-orang ini membutuhkan konseling, tetapi pemerintah tidak memberikan,” kata seorang relawan dari kelompok Protestan.

Sebaliknya, perhatian utama pemerintah tampaknya mengusir para tunawisma di sekitar Mayashita Park karena lokasi itu akan dijadikan Olimpiade Tokyo 2020.

“Kami semua khawatir apa yang akan terjadi pada kami ketika Miyashita Park baru dibangun,” kata seorang tunawisma lain bernama Kyohei.

“Saya akan dipaksa untuk pindah ke tempat lain bersama dengan semua orang yang telah berlindung di sini selama puluhan tahun, kami tidak tahu apa yang akan terjadi,” tambahnya.

1123h [2]

Tempat penampungan tunawisma di Miyashita Park. 

 

*Untuk menghormati warga tunawisma yang diwawancarai, hanya nama samaran atau nama pertama mereka digunakan sesuai permintaan.

Sumber: ucanews.com [3]