UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Pengungsi Kachin di Myanmar tidak merasakan sukacita Natal akibat perang

Desember 22, 2016

Pengungsi Kachin di Myanmar tidak merasakan sukacita Natal akibat perang

Seorang wanita etnis Kachin duduk di tempat penampungan sementara di sebuah kamp di Negara Bagian Kachin pada September 2012.

 

Bagi Ze Nywi, seorang wanita etnis Kachin, tahun ini akan menjadi Natal keenamnya di kamp pengungsian akibat konflik yang melanda Negara Bagian Kachin, wilayah mayoritas Kristen di Myanmar bagian utara.

Natal sering menjadi acara khusus bagi umat Kristiani Kachin dengan perayaan yang diselenggarakan sepanjang Desember. Mereka berjalan dari desa ke desa dengan menyanyikan lagu-lagu, menari dan rumah didekorasi.

“Suasana sukacita Natal telah berubah menjadi kesedihan dan penderitaan,” kata Ze Nywi dari Gereja Baptis, yang mengelola sebuah toko kelontong di kamp Jai Mai Kaung di Myitkyina di mana sekitar 1.000 orang tinggal.

“Kami dipenuhi dengan ketakutan meskipun Desember seharusnya menjadi masa yang menyenangkan dan damai bagi umat Kristiani. Kami mendengar tembakan bukannya lagu-lagu Natal,” kata Ze Nywi, ibu dari tiga anak.

Wanita berusia 43 tahun itu mengatakan ibunya dan lima anggota keluarganya melarikan diri dari desa Innkwaryan dekat  markas Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) ketika pertempuran intensif di wilayah ini pada Juli 2011.

Konflik itu menimbulkan lebih dari 100.000 orang mengungsi, banyak dari mereka adalah orang-orang Kristen. Dari jumlah tersebut ada sekitar 50.000 orang tinggal di tempat penampungan sementara yang ditangani sejumlah LSM, menurut PBB. Sisanya tetap berada di kamp-kamp pengungsi.

Joseph Brang Aung, yang tinggal di sebuah kamp di Waimaw, dekat Myitkyna, ibukota negara bagian Kachin, sejak Desember 2011, mengatakan bahwa para pengungsi merayakan Natal dengan menyerahkan kesulitan mereka kepada Yesus.

“Kami ingin kembali ke rumah, kami telah tinggal di kamp selama lebih dari lima tahun, saya percaya harapan kami suatu hari akan dipenuhi oleh Yesus,” kata Brang Aung, seorang Katolik dan ayah dari lima anak.

Naw Taung, yang bertanggung jawab atas kamp Ja Mai Kaung di Myitkyina, mengatakan bahwa mereka tidak bisa merayakan Natal di kamp karena kekurangan dana sehingga sebagai gantinnya mereka membawa semua orang di sana ke gereja pada hari Natal.

“Natal adalah saat yang menyenangkan bagi keluarga, kerabat dan teman-teman, tapi bagi para pengungsi, Natal adalah masa yang tak bahagia karena mereka tetap berada di kamar-kamar kecil di kamp-kamp yang buruk. Mereka telah hidup seperti ini selama lima tahun dan mereka khawatir tentang masa depan mereka,” kata Naw Taung dari Gereja Baptis.

1222c

Anak-anak Kachin di kamp pengungsian di kota Kutkhai, Negara Bagian Shan pada Maret 2015.

 

Gereja peduli untuk pengungsi

Uskup Banmaw Mgr Raymond Sumlut Gam mengatakan ia melayani umat di kamp-kamp pada waktu Natal sebagai bentuk dukungan moral.

Uskup Khacin itu berencana mengunjungi dua kamp pada Desember untuk merayakan Natal bersama orang-orang yang tinggal di sana.

“Uskup, pastor dan suster mengunjungi dan merayakan Natal di kamp-kamp guna menunjukkan solidaritas,” kata Uskup Sumlut Gam.

Uskup itu mengatakan bahwa Gereja Katolik telah berperan penting dalam menyediakan makanan dan non-makanan serta program spiritual dan sosial untuk warga di kamp-kamp tersebut.

Persediaan diperlukan karena makanan untuk pengungsi di Kachin dibatasi. Akses ke kamp-kamp, terutama di daerah KIA dikendalikan. Ini menjadi sulit, menurut kelompok bantuan.

Baca selengkapnya di ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi