Pada 16 November tahun lalu, Carlo Isles tidak pulang. Pagi hari berikutnya, jenazahnya ditemukan.
“Pengedar, pecandu, tidak ditolerir,” demikian secarik kertas yang diletakan di atas jenazahnya.
Kepala Carlo diikat dengan pita, pergelangan tangannya diikat dengan tali, dan dadanya penuh luka tusukan.
Carlo bukanlah seorang pencandu, kata pamannya, Ramon. Carlo atau Caloy adalah seorang anak muda yang sesekali mengisap ganja.
Sebagai anak muda, Carlo gagap ketika ia berbicara. Pada usia 22 tahun, ia mudah tertipu seperti ketika ia berusia 15 tahun.
Jenazah Carlo ditemukan di sebuah desa di distrik bisnis Makati, beberapa kilometer dari rumahnya di kota Pasay, Manila.
Teman Carlo mengatakan pemuda itu diculik oleh orang bersenjata beberapa meter dari rumahnya dan dibawa pergi dengan mobil.
Bagi Kepolisian Filipina, Carlo adalah salah satu dari 6.000 korban pembunuhan terkait narkoba dalam enam bulan terakhir.
Kerabat dan teman-teman Carlo berkumpul di luar rumah keluarganya.
‘Sama seperti seorang anak’
Malam itu ia terakhir terlihat, Carlo membeli obat untuk neneknya yang sedang sakit di apotek terdekat. Dia meninggalkan rumah setelah membawa obat tersebut kepada neneknya
Ramon mengatakan pergi ke luar rumah adalah normal bagi Carlo karena “dia bukan seperti anak kecil.”
Carlo bekerja sebagai “joki.” Uang yang diperolehnya hanya cukup untuk membeli makanan ringan atau ganja.
Ada pembicaraan di sekitar masyarakat bahwa Carlo diambil oleh orang-orang dengan mobil putih. “Mereka mengambil siapa pun … berdasarkan kecurigaan,” kata Ramon.
Pada malam yang sama Carlo meninggal, tujuh jenazah lain ditemukan dengan cap bertuliskan “pencandu” narkoba.
Ramon merasa gusar ketika Carlo tidak kembali malam itu. Ia sangat mencintai keponakannya itu.
Dalam kegelapan malam, pamannya mencari ke mana saja, mengitari jalan-jalan kota itu, ke kantor polisi di mana para tersangka kriminal ditahan dan bahkan di kamar jenazah.
“Saya berdoa kepada Tuhan agar Carlo kembali kepada kami, mudah-mudahan masih hidup,” kata Ramon.
Di salah satu kamar mayat, Ramon berada di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan mayat, beberapa tertutup selimut, beberapa tanpa pakaian.
Ramon segera mengidentifikasi Carlo setelah melihat tanda-tanda di kedua kekinya.
Siapa yang harus disalahkan
“Siapa yang harus saya salahkan atas kematiannya?” tanya Ramon.
Di atas peti matinya Carlo diletakkan seekor anak ayam, sebuah simbolisme Filipina untuk menandakan kematian yang tidak adil dan seruan untuk keadilan.
Di luar rumah Ramon banyak teman Carlo berduka atas kematian pemuda itu.
Ketika Ramon merayakan ulang tahun ke-53 beberapa bulan sebelumnya, ia berziarah ke sebuah tempat doa di mana terdapat patung ajaib “SP Maria Manaoag” di Provinsi Pangasinan.
Ramon berdoa agar Tuhan melindungi keluarganya dari bahaya, termasuk Carlo.
“Saya terus berdoa, tapi saya terus bertanya mengapa ini terjadi,” katanya.
Seekor anak ayam diletakkan di atas peti jenazah Carlo Isles menandakan kematian yang tidak adil.
Perang terhadap narkoba ‘tidak normal’ lagi
Pada hari Minggu pertama bulan Desember, Carlo dimakamkan. Prosesi panjang dari keluarga dan teman-teman menuju tempat pemakaman.
Ramon mengeluarkan seutas rosario saat ia beli selama ziarah. Dia menempatkan rosario itu di samping jenazah Carlo sambil meratap, “Aku minta maaf kalau aku punya kekurangan. Aku sangat mencintaimu.”
Ramon tidak menyembunyikan keraguan melawan pemerintah hari ini.
Dia mengatakan bahwa lebih dari 6.000 orang tewas. Perang pemerintah Filipina melawan narkoba adalah “tidak normal” lagi.
Sementara kematian Carlo tidak terjadi selama operasi polisi, Ramon curiga dari otoritas.
“Polisi seharusnya melindungi orang. Apakah mereka masih melakukan hal itu? Apakah mereka bersalah?” tanya Ramon.
Di rumah Ramon, lilin dinyalakan di samping foto Carlo, di tembok tertulis kata-kata dari pemuda itu: Memilih Duterte. Presiden Duterte, Duterte, Duterte.”
Sumber: ucanews.com