- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Tahun gelap untuk hak asasi manusia di Filipina

 

Filipina gagal dalam kinerjanya terkait hak asasi manusia (HAM) tahun 2016. Sebuah budaya kematian telah membawa suasana menakutkan.

Bulan-bulan terakhir masa Presiden Benigno Aquino melihat kegagalannya untuk melaksanakan janji sosial kepemimpinannya, reformasi ekonomi, tata pemerintahan yang baik, HAM, serta keadilan dan perdamaian.

Aquino turun tanpa menyelesaikan kasus penyiksaan dan penghilangan paksa meskipun perintah administratif yang seharusnya membentuk sebuah badan untuk menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM.

Antara kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan adalah pembunuhan dan eksodus besar-besaran orang suku yang terlantar akibat operasi pertambangan.

Tentang penghilangan paksa, enam tahun permohonan oleh keluarga orang hilang agar Aquino menandatangani Konvensi PBB tentang Penghilangan Paksa tidak didengarkan.

Kecewa dengan janji Aquino untuk “meluruskan jalan” pemerintahan, 16 juta orang Filipina memilih Rodrigo Duterte, yang berjanji untuk membawa perubahan, dengan segala kekuatan.

Duterte menjadi presiden dan sekitar 1.000 korban eksekusi di kota asalnya Davao, yang mungkin akan bertambah 10.000 korban eksekusi.

“Anda akan melihat bahwa ikan di Manila Bay akan menjadi gemuk. Aku akan melemparkan Anda dari luar sana,” kata Duterte memperingatkan para pengedar dan pengguna narkoba.

Dalam pidato kenegaraan pertama, presiden baru itu mengatakan, “hak asasi manusia harus bekerja untuk mengangkat martabat manusia.”

“Tapi, hak asasi manusia tidak dapat digunakan sebagai perisai atau alasan untuk menghancurkan negara,” tambahnya.

Untuk membuktikan kata-katanya, lebih dari 6.000 orang telah tewas, dengan rata-rata 38 pembunuhan setiap hari sejak ia mengambil alih kantor presiden enam bulan lalu.

Lebih buruk lagi, mayoritas kongres menyelesaikan dengan cepat pengesahan undang-undang yang mengusulkan penurunan usia pidana dari 15 menjadi sembilan tahun dan menerapkan hukuman mati.

Sekutu Duterte akan memastikan Filipina menjadi satu-satunya negara telah menghapuskan hukuman mati dan menerapkan lagi meskipun pihaknya telah menandatangani Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik dengan tujuan penghapusan hukuman mati dan Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan penghapusan hukuman mati.

Jangan sampai kita lupa, di puncak impunitas, sembilan dari 15 hakim agung memilih mendukung pemakaman mantan diktator Ferdinand Marcos di Taman Makam Pahlawan negara itu.

Keputusan kontroversial itu merupakan pemenuhan janji kampanye Duterte untuk keluarga Marcos dan ini telah memecah belah  bangsa, menghantar kembali ribuan tua dan muda turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi protes terhadap pemakaman yang berlangsung pada November tersebut.

Bagi korban pelanggaran HAM, penguburan diktator di pemakaman itu  berarti matinya akan kebenaran dan keadilan.

Masyarakat internasional telah bersuara, tapi tetap tak didengarkan.

“Saya sangat mengecam dukungan  tentang pembunuhan di luar hukum, pembunuhan ilegal serta melanggar hak-hak dasar dan kebebasan,” kata Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Duterte menepis seruan tersebut seraya menyatakan bahwa PBB adalah “bodoh dan mengintervensi urusan republik ini.”

Fatou Bensouda, seorang jaksa di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, juga mengecam pembunuhan tersebut, tetapi Duterte menanggap sebagai “tidak berguna.”

Gereja Katolik telah menambahkan suara kecaman tersebut.

Uskup Broderick Pabillo menandatangani petisi online agar Duterte  diselidiki atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Awal Desember, lonceng di sejumlah gereja di seluruh negeri itu dibunyikan untuk memprotes pembunuhan.

Dalam homili Natal yang disiarkan di televisi nasional, Uskup Teodoro Bacani menyatakan tanda bahaya atas pembunuhan terkait narkoba yang menyasar kepada orang-orang miskin. Para pastor paroki di berbagai provinsi menyerukan pembunuhan segera dihentikan.

Dalam sebuah pernyataan, Uskup Agung Socrates Villegas, ketua presidium Konferensi Waligereja Filipina, mendesak warga Filipina untuk “benar-benar bersatu” dan berpihak pada isu-isu pro-life.

Menentang malam gelap kematian maka suara-suara harus digemakan dari paroki-paroki untuk menyatukan suara kenabian.

Memperkuat suara kenabian Gereja di negara mayoritas Katolik  di Asia ini adalah sangat penting.

Mary Aileen Bacalso adalah sekjen Asian Federation Against Involuntary Disappearances. Atas komitmennya terhadap HAM, pemerintah Argentina memberikan Emilio Mignone International Human Rights Prize tahun 2013.

Sumber: ucanews.com [1]