UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Myanmar dituduh melakukan kekerasan mengerikan terhadap Rohingya

Pebruari 8, 2017

Myanmar dituduh melakukan kekerasan mengerikan terhadap Rohingya

Dua perempuan bersaudara dari etnis Rohingya berusia 18 dan 20 tahun mengatakan mereka diperkosa oleh para tentara Myanmar di desa mereka, Rakhine bagian utara pada pertengahan November lalu.

 

Fatema Khatun melarikan diri ke kamp pengungsi tak terdaftar di Leda, Cox Bazar, Banglades bersama suaminya Abdul Amin dan empat anak mereka pada awal Desember 2016.

Dua putra mereka, Salimullah dan Amanullah, ditahan dan putri mereka, Dildar Begum dijemput oleh militer Myanmar dari rumah mereka di desa Kearipara pada pertengahan November.

“Kami telah melarikan diri untuk menyelamatkan hidup kami dan kami telah kehilangan kontak dengan mereka. Kami tidak tahu apakah mereka hidup atau mati,” kata Khatun.

“Saya melihat tentara membawa para orang muda ke hutan untuk menembak mereka. Mereka adalah gadis-gadis cantik dan wanita muda dan kemungkinan menahan mereka melakukan pelecehan dan pemerkosaan. Mungkin anak-anak saya dan putri memiliki nasib yang sama,” katanya kepada ucanews.com.

Abu Taher berasal dari desa Kearipara di Negara Bagian Rakhine melarikan diri ke Banglades pada awal Desember dan sekarang tinggal di kamp pengungsi Kutupalong tak terdaftar bersama istri dan enam anak mereka. Dia mengatakan dia menyaksikan pemerkosaan di desanya.

“Peristiwa itu terjadi pada akhir November ketika sebuah kelompok 20 tentara menyerbu desa itu dan sebagian besar penduduk desa bersembunyi. Saya juga menyembunyikan diri, tapi diam-diam menyaksikan beberapa tentara memperkosa seorang wanita di rumah tetangga satu per satu. Saya sangat terkejut dan takut bahwa saya segera memutuskan untuk meninggalkan desa itu,” kata Taher kepada ucanews.com.

Sebuah kelompok hak asasi (HAM) terkemuka dan PBB pekan ini juga telah menyampaikan rincian pelanggaran HAM ekstrim yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Pasukan pemerintah Myanmar melakukan perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan dan gadis-gadis muda berusia 13 tahun etnis Rohingya selama operasi keamanan di Negara Bagian Rakhine pada akhir 2016, lapor Human Rights Watch, 6 Februari.

Tentara Myanmar dan polisi penjaga perbatasan mengambil bagian dalam pemerkosaan berkelompok dan pelecehan seksual di sembilan desa di distrik Maungdaw antara 9 Oktober hingga pertengahan Desember, demikian kelompok HAM itu.

Komisaris Tinggi HAM PBB juga merilis sebuah laporan pada 3 Februari yang mendokumentasikan pemerkosaan geng, pembunuhan (termasuk bayi dan anak-anak) pemukulan brutal, penghilangan dan pelanggaran HAM serius lainnya oleh pasukan keamanan.

Laporan PBB mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan menambahkan “kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Kardinal Bo menanggapi laporan PBB

Kardinal Charles Maung Bo, Uskup Agung Yangon mengatakan bahwa laporan PBB digambarkan seperti “tidak manusiawi dan barbar”.

Ia meminta pemerintah mengakhiri serangan militer terhadap warga sipil di Negara Bagian Rakhine dan bekerja dengan masyarakat internasional menyelidiki kejahatan yang dilaporkan oleh PBB  “benar-benar independen” yang menghasilkan “keadilan dan akuntabilitas.”

“Perdamaian dan keadilan adalah mungkin dan itu adalah satu-satunya cara,” kata Kardinal Bo dalam pernyataan pada 6 Februari.

Pemerintah Myanmar mengatakan akan menyelidiki pelanggaran HAM dan mengambil semua tindakan yang diperlukan jika mereka menemukan bukti.

“Sebagai pemerintah demokratis, kami berdiri teguh pada komitmen kami pada HAM dan tidak akan pernah mendukung pelanggaran HAM. Kami akan mengambil semua tindakan yang diperlukan jika menemukan bukti,” kata Aye Aye Soe, jubir Kementerian Luar Negeri yang dipimpin Aung San Suu Kyi kepada ucanews.com.

Dia menambahkan bahwa pemerintah membutuhkan informasi lebih lanjut serta PBB dan kelompok HAM perlu berbagi.

Pastor Thomas Htang Shan Mong, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Myanmar, mengatakan, “Akan lebih baik jika penyelidikan bekerja secara independen dan menyampaikan temuan mereka kepada masyarakat internasional.”

Imam itu menambahkan bahwa “kita menunggu temuan” dari komisi yang ditunjuk pemerintah untuk menyelidiki tuduhan ini dan pemerintah Aung San Suu Kyi sedang berupaya menangani situasi di Rakhine yang kompleks.

‘Tuduhan sepihak’

Pe Dari, anggota parlemen dari Partai Nasional Arakan, mengatakan bahwa laporan PBB dan lain-lain mencerminkan sepihak dengan berfokus pada HAM.

“Kegagalan pemerintah Myanmar akan memberikan informasi tentang situasi di Rakhine  dan mencegah akses bagi wartawan telah mendorong kesalahpahaman di kalangan masyarakat internasional,” kata Pe Dari kepada ucanews.com.

Namun, Win Naing, anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa  mengatakan bahwa ia tak meragukan laporan PBB dan kelompok HAM tersebut.

Pembunuhan sembilan petugas polisi di tiga pos perbatasan di Rakhine utara pada 9 Oktober mengakibatkan lonjakan kekerasan oleh militer Myanmar.

Sejak itu lebih dari 69.000 warga Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Banglades, menurut PBB.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi