UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Hukum Islam sedang diperjuangkan di Malaysia

Pebruari 24, 2017

Hukum Islam sedang diperjuangkan di Malaysia

Polisi syariah mencambuk seorang perempuan Aceh di sebuah masjid di Banda Aceh karena melanggar hukum syariah, 1 Agustus 2016.

 

Malaysia, sebuah negara multikultural, memperjuangkan agar sebuah RUU terkait dengan hukum Islam disahkan bulan depan yang akan memungkinkan pengadilan Islam menerapkan hukuman yang lebih berat.

“Ini bukan mimpi. Ini adalah perjuangan kami untuk keberhasilan umat Muslim,” kata ketua Partai Islam se-Malaysia (PAS) pada 18 Februari saat ribuan umat Islam berkumpul untuk demonstrasi mendukung RUU tersebut.

Nik Mohamad Abduh Nik Aziz mengatakan bahwa aksi tersebut menarik sekitar 50.000 warga Muslim, pendukung sebagian besar PAS dari negara-negara bagian semenanjung.

Ketua PAS Abdul Hadi Awang mengatakan perubahan diperlukan untuk meningkatkan status pengadilan Islam di negara itu dan mencegah pelanggaran.

Usulan amandemen UU Pengadilan Syariah (Yuridiksi Pidana) meningkatkan hukuman bagi pelanggar seperti pencurian, perampokan, perzinahan, dan seks di luar nikah.

Warga non-Muslim di negara multi-etnis itu khawatir bahwa pemerintah koalisi mengabaikan kesepakatan yang dibuat pada pembentukan Malaysia bahwa negara itu akan sekuler.

Para kritikus terhadap amandemen tersebut mengatakan RUU itu tidak adil, tak proporsional, dan inkonstitusional.

Mereka mengatakan RUU itu akan menabur ketidakpercayaan lebih lanjut di kalangan kelompok-kelompok etnis di negara itu. Minoritas agama mengatakan bahwa hak-hak mereka telah berkurang dengan penerapan sejumlah kebijakan pro-Islam oleh pemerintah.

Umat Kristiani telah dilarang oleh pengadilan menggunakan kata ‘Allah’, akibatnya, Alkitab berbahasa Melayu telah disita.

Sementara organisasi-organisasi  keagamaan non-Muslim umumnya diam dengan reli akhir pekan lalu tersebut, namun mereka merasa prihatin.

Sebuah kelompok Kristen terkait dengan pemerintah Barisan Nasional dipimpin oleh Perdana Menteri Najib Razak menolak mengomentari reli itu.

Pendeta Wong Kim Kong, ketua Forum Perdamaian dan Kerukunan Kristen Malaysia mengatakan kepada media lokal: “Aksi ini di luar kita. Hal ini sangat politis.”

Dewan Konsultatif Buddha, Kristen, Hindu, Sikh, dan Tao Malaysia mengecam rencana amandemen UUD tahun lalu dan menteri pemerintah Muslim dan non-Muslim berselisih tentang masalah ini.

Pendeta Hermen Shastri, sekjen Dewan Gereja Malaysia, mengatakan amandemen yang diusulkan jelas merupakan upaya untuk menulis ulang konstitusi secara radikal.

“Anggota parlemen federal tidak harus memperlakukan upaya Hadi untuk mengubah sistem peradilan negara yang telah ditetapkan oleh pendiri bangsa kita dan secara konsisten diterapkan selama lebih dari 55 tahun,” kata Shastri.

Sejauh ini hukum Islam memungkinkan untuk rajam dan potong anggota badan tidak bisa ditegakkan karena mereka melawan UUD federal. Pengadilan Syariah terbatas pada denda tidak melebihi sekitar 1.000 dollar AS, tiga tahun penjara dan enam cambukan.

Amandemen UU 355, diharapkan akan dibahas di parlemen saat sidang bulan depan, akan memungkinkan pengadilan Islam, mengatur tentang urusan agama dan hukum keluarga bagi umat Islam, untuk memaksakan hukuman penjara selama 30 tahun, 100 cambukan dan denda lebih dari 22.000 dollar AS.

Jumlah umat Muslim sekitar 60 persen dari populasi di negara itu yang memiliki sistem hukum ganda, dengan pengadilan sekuler bertanggung jawab atas semua hal perdata dan pidana.

Organisasi Nasional Melayu Bersatu, partai Perdana Menteri Najib Tun Razak, yang memberikan dukungan secara diam-diam pada RUU itu, menyatakan keprihatinan mereka tentang amandemen tersebut.

Sumber: ucanews.com

 

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi