- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Orang muda lintas agama deklarasi melawan radikalisme

 

Lebih dari 2.000 orang muda lintas agama mendeklarasikan tekad mereka membangun sikap bersikap inklusif, inovatif, dan transformatif guna menentang radikalisme.

Deklarasi itu adalah bagian dari serangkaian kegiatan yang digelar di komplek Balai Kota Semarang, Minggu, 5 Maret.

Acara bertajuk “Srawung Orang Muda Lintas Agama” dihadiri oleh sekitar 3.000 pelajar dan mahasiswa lintas agama di wilayah keuskupan agung itu.

“Kami, Orang Muda Lintas Agama Semarang untuk Indonesia menyerukan dan bertekad mengembangkan sikap hidup inklusif, inovatif dan transformaif serta melawan setiap bentuk radikalisme dan intoleransi di muka bumi ini,” tulis deklarasi itu.

Mereka juga bertekad “mencintai dan menciptakan kerukunan dalam keberagaman untuk mewujudkan peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman apa pun agama kami”.

“Berjuang dengan siapa saja untuk terus membangun persaudaraan dan persahabatan sejati,” seraya menambahkan “menjaga dan menegakkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”.

Romo Aloys Budi Purnomo, ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang mengatakan, dalam perspektif Gereja Asia, alasan kontekstualnya adalah Keuskupan Agung Semarang menjadi tuan rumah Asian Youth Day 2017.

img_9772 [1]Romo Aloys Budi Purnomo berjubah hitam (tengah).

 

Imam itu mengatakan tema yang diusung terkait dengan sukacita Injil dan hidup multikultural. Tema ini menjadi alasan untuk menyelenggarakan Srawung Orang Muda Lintas Agama.

Komisi HAK KAS, kata Romo Budi, mendapat mandat dari Dewan Karya Pastoral KAS untuk melaksakan program kerja yang bersubjek orang muda lintas agama demi menjadi Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif dan alasan kontekstual Semarang, dirasakan mulai muncul percik-percik intoleransi dan radikalisme di kalangan tertentu yang nota bene dari orang muda tertentu.

Tujuan acara ini, lanjutnya, dari sisi Gereja Katolik, “kita ingin menghadirkan Gereja yang inklusif, inovatif dan transformatif demi terwujudnya peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya. Perabadan kasih itu dimulai melalui srawung, perjumpaan, silaturahim dan diekspresikan dalam dialog hidup dengan mediasi seni dan budaya. Kedua, memberi ruang bagi orang muda untuk hidup terbuka dalam kerjasama lintas agama dan membangun persaudaraan yang sejati. Ketiga, kita mau melawan realitas radikalisme dan intoleransi bukan dengan kekerasan dan benci, melainkan dengan kerukunan dan kasih.”

Ia mengatakan, acara-acara sebelumnya panitianya praktis hanya orang Katolik. Kali ini semua terlibat dari awal. Semua memiliki sens of belonging yang sama.

“Saya sangat berterima kasih kepada para sahabat dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu yang sejak awal menyambut baik rencana “Srawung Orang Muda Lintas Agama” ini dan terlibat intensif sebagai panitia. Ada Gus Ubaidillah Achmad dari Rembang yang juga dosen UIN Walisongo. Ada Pak Ary, Setyawan Budi dari Kristen. Ada Santika Yauw dan Rani dari Buddha dan Hindu. Ada Andi Tjiok dari Konghucu. Sejumlah mahasiswa-mahasiswi dari UIN Walisongo, Unwahas, Unisula, Unes, Undip dan Unika yang terlibat aktif sebagai panitia dan peserta,” tambahnya.

 

img_9768 [2]Para peserta Temu Kaum Muda Lintas Agama

 

Orang muda dilibatkan dalam kegiatan ini sebab mereka yang memiliki masa depan dan akan menjadi pengendali masa depan. Kalau dari sekarang mereka sudah rukun, inklusif, bersaudara diharapkan di masa depan hal itu memperkuat keutuhan dan kerukunan bangsa ini. Mereka juga memiliki motivasi kuat menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kendala justru terjadi dari pihak yang lebih dewasa yang kadang tidak rela bahwa anak-anak muda bersikap terbuka dalam menjalin relasi lintas agama. Ada semacam kecurigaan atau ketakutan entah mengapa terhadap kekuatan anak muda bergaul dan bergerak secara lintas agama. Bahkan ada yang menyebut bahwa yang dilakukan anak muda itu merupakan toleransi kebablasan, lanjutnya.

Cecilia Rahayu Kurnianingsih, seorang Katolik mengatakan kepada ucanews.com bahwa dia menyambut baik acara tersebut dan mendorong dia untuk berbagi pesan dalam acara tersebut kepada orang muda lainnya.

“Kami datang dari berbagai kota di Keuskupan Agung Semarang untuk membangun toleransi karena kami menyaksikan berbagai intoleransi di wilayah kami. Orang muda menjadi target orang dewasa melalui penyebaran kebencian.”

Dia sangat optimis bahwa ia tidak akan terpengaruh dengan penyebaran kebencian. “Kami akan tetap bersinergi dengan orang muda dari agama-agama lain dan tidak berpengaruh dengan isu-isu merusak hubungan kami,” tambahnya.

Maria Ulfah, seorang Muslim, mengatakan dia senang dengan acara itu di mana “kondisi negara kita menghadapi kesulitan karena ada sejumlah oknum yang menyebarkan kebencian agama”.

Ia berjanji menyebarkan virus toleransi kepada teman-temannya di wilayahnya. “Aku akan menyebarkan virus toleransi kepada teman-teman saya di daerah saya, dan seluruh Indonesia melalui media sosial,” katanya kepada ucanews.com.

Dia mengatakan orangtuanya pernah melarang karena dia bergaul dengan para Romo dan teman-temannya dari agama lain karena mereka khawatir kristenisasi. Tapi, dia tetap menghadiri berbagai kegiatan lintas agama dan sekarang dia bisa mengenal lebih dekat agama lain dan bahkan ia mengunjungi gereja-gereja, kuil Hindu, dan wihara.

“Saya berjanji setelah acara ini saya akan mengajak teman-teman Muslim saya untuk membangun toleransi dengan agama-agama lain,” tambahnya.

Baca juga: Central Java youths declare [3]