- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Biarkan Anak Down Syndrome Menikmati Hidup yang Layak

Intan Sartika Tasmaan yang mengalami Down syndrome sangat berterima kasih karena orangtuanya memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati hidup, kontras dengan kebanyak anak yang serupa yang mengalami diskriminasi bahkan oleh keluarga mereka.

Banyak orang di Indonesia masih menganggap remeh orang Down sydnrome karena mereka tidak bisa memberi kontribusi apa-apa bagi masyarakat, bahkan beberap melihat mereka sebagai kutukan sehingga keluarga mereka menyembunyikan mereka atau mengunci mereka dalam rumah.

Intan mengatakan dia sudah mendengar banyak cerita semacam itu, tapi dirinya sangat bahagia karena keluarganya memberikan dia kehidupan yang normal, mengijinkan dia untuk pergi ke mana-mana dan berinteraksi dengan orang lain. Ia juga ingin agar orang-orang dengan Down syndrome juga diterima.

Banya orang dengan kondisi seperti itu di Indonesia tidak seberuntung seperti Intan yang diijinkan untuk mementaskan tarian dalam even-even publik, termasuk kegiatan belum lama ini di mana dia dan beberapa temannya mementaskan tarian di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor.

down-syndrome2

Anak-anak dengan Down syndrome bermain angklung pada even memperingati Hari Down Syndrome Sedunia yang digagas Keuskupan Agung Jakarta pada 26 Maret di Gereja St Don Bosco, Jakarta Utara. (Konradus Epa/ucanews.com)

“Saya senang karena bisa ikut mementaskan tarian Kicir-Kicir di depan presiden,” kata Intan kepada ucanews.com dengan senyuman bahagia.

Intan juga hadir pada kegiatan yang diselenggarakan Keuskupan Agung Jakarta pada Minggu (26/3) di Gereja St Don Bosco, Sunter, Jakarta Utara, untuk memperingati Hari Down Syndrome Sedunia yang jatuh pada 21 Maret.

Sekitar 45 orang Down syndrome menghadiri even tersebut dari Asosiasi Down Syndrome Indonesia, Lovely Hands dan Dian Grahita. Sekitar 400-an orang Katolik dan Muslim juga ikut ambil bagian.

Surati, seorang ibu Muslim yang menemani anaknya yang down syndrome juga membagikan pengalamannya tentang bagaimana orang-orang di komunitas ia tinggal memperlakukan secara tidak adil terhadap anak-anak dengan Down syndrome.

“Beberapa Muslim juga merasa malu dengan anak-anak mereka yang menderita down syndrome. Pada hal mereka adalah anugerah dari Allah, dan kita harus menghormati, mendidik dan melindungi mereka,” kata Surati.

Indonesia memiliki sekitar 300.000 orang dengan kondisi seperti ini, tapi hanya satu percent dari 170.891 sekolah yang memiliki fasilitas khusus untuk mereka.

Karena kekurangan sekolah itulah Maisi Wiryadi -ibunda dari Intan- mendirikan sekolah Dian Grahita tahun  2009 untuk membantu anaknya dan juga anak-anak yang serupa.

Intan sekarang sudah menjadi siswa SMP di sekolah tersebut dan sudah bisa memasak nasi dan sayur, menggoreng telur dan tahu, menyanyi, menari dan melukis. Ia telah membuktikan bahwa orang dengan Down syndrome juga bisa memberikan sesuatu.

Ibunya selalu membawa dia ke tempat-tempat umum termasuk ke gereja-gereja di Jakarta sehingga Intan bisa percaya diri.

Suster Maria Johanna, Kepala Sekolah Dian Grahita, mengatakan orangtua dan keluar harus memperhatikan anak-anak down syndrome dengan kasih sayang dan tidak perlu malu untuk membawa mereka ke gereja dan tempat-tempat umum.

“Kita harus tahu bahwa mereka adalah anugerah dari Tuhan,” katanya.

Romo Hary Sulistyo, Ketua Komsos Keuskupan Agung Jakarta, meminta umat Katolik untuk menunjukkan kasih sayang kepada orang-orang down syndrome selama masa Prapaskah.

“Kita harus menghormati mereka, terus mendukung, memberi perhatian dan mencintai mereka,” kata Romo Harry.

Ia juga mengusulkan agar gereja-gereja mendorong mereka untuk mengikuti Misa pada hari Mingg dan tidak merayakan Misa secara terpisah.

Sementara itu Romo Alexius Andang L Binawan, SJ, Vikjen Keuskupan Agung Jakarta, juga meminta kepada umat Katolik agar memperlakukan orang-orang down syndrome dengan penuh perhatian dan adil, serta tidak mendiskreditkan mereka. “Kami mau supaya orang-orang Katolik di Jakarta menghormati segala kehidupan dan martabat manusia,” kata Romo Andang.

Baca juga: Indonesia’s Down syndrome [1]