- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Pernikahan dini sebagai upaya menutupi budaya pedofilia

Sejak berusia 11 tahun, Jazell terpaksa hidup dengan laki-laki yang berusia hampir 40 tahun.

Ia diperlakukan seperti ‘istri’, hidup di dalam rumah bersama pria itu, memasak, mencuci, dan dipaksa berhubungan seks. Jazell kemudian hamil ketika berusia 14 dan melahirkan seorang bayi. Ayahnya merestui dan komunitasnya tetap diam dengan situasi seperti itu.

Rosita juga berusia 11 tahun dan menjadi sasaran nafsu seks seorang pria berusia 45 tahun yang membayar belis kepada orangtua Rosita. Sebuah surat menunjukkan bahwa apa yang terjadi sebetulnya ‘pengaturan pernikahan’ dan itu membuat Rosita menjadi pengantin anak-anak. Dia juga hamil dan melahirkan ketika berusia 14 tahun.

Menurut UNICEF, sekitar 700 juta perempuan saat ini diperlakukan seperti Rosita ketika mereka masih remaja. Mereka dipakai sebagai pemuas hawa nafsu oleh pria dewasa. Mereka disebut ‘pengantin anak.’

Jutaan anak gadis di seluruh dunia dipaksa untuk hidup bersama dengan pria dewasa ketika mereka masih berusia 11 tahun. “Pengambilan gadis belia untuk menjadi istri sudah menjadi penutup bagi budaya pedofilia. Ini menjadi alasan untuk membenarkan seks dengan anak-anak dan luput dari jeratan hukum. Sebagian besar dari gadis-gadis belia itu diperkosa dalam aksi yang disebut dengan ‘puncak dari perkawinan.’

Tidak ada perkawinan dalam pengertian moral karena, kehendak bebas dan pilihan yang terpikirkan secara matang harus ada sehingga ikatan seperti itu bisa sah. Meskipun ada hukum untuk melarang pernikahan anak di sebagian besar negara berkembang namun ini tidak dihiraukan.

Di Bangladesh, 71 persen gadis di desa ‘menikah’ sebelum genap 18 tahun sedangkan di daerah perkotaan mencapai 54 persen, dan menempatkan negara tersebut sebagai negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia.

Sepotong dokumen yang menyebutkan persatuan antara gadis belia dengan seorang pria yang lebih tua sebagai suatu perkawian membuatnya berkekuatan hukum dan benar. Akan tetapi itu sama sekali tidak benar bagi seorang anak yang mengalami penganiayaan dan kehilangan masa kanak-kanak, pendidikan dan kehidupan yang bermartabat.

Di Bangladesh, sebuah undang-undang yang ditandatangani oleh presiden negara itu pada 11 Maret melarang pernikahan anak. Akan tetapi masih ada celah yang digunakan orang dewasa untuk menikahi anak-anak. Hukum itu mengatakan bahwa pernikahan anak dilarang kecuali dalam kasus-kasus istimewa. Dan undang-undang itu tidak menyebutkan kasus spesial seperti apa.

Kemiskinan menjadi faktor utama di balik pernikahan anak yang dipaksakan. Orangtua yang miskin melihat anak gadis mereka sebagai modal yang bisa mengangkat status ekonomi mereka. Anak-anak dilihat sebagai hak milik orangtua. Semakin muda seorang anak gadis, semakin berharga dia bagi keluarga.

Beberapa orang mengatakan bahwa jika seorang pria dewasa berhubungan seks dengan seorang gadis berusia 9 tahun tidak bisa disebut pedofilia jika secara sosial budaya atau kebiasaan agama memungkinkan. Mereka mengatakan bahwa fenomena pernikahan anak didorong oleh kekuatan sosial budaya dan pertimbangan ekonomi.

Salah satu LSM internasional mengatakan salah satu aspek yang secara jelas membedakan pernikahan anak dengan pedofilia adalah lingkungan sosial budaya, di mana pernikahan anak itu biasa dilakukan. Ini menjadi alasan, tidak seperti pedofilia, pernikahan anak dilakukan dan dipertahankan tidak hanya oleh orangtua tapi juga komunitas dan para pemimpin.

Di Filipina, dua persen anak-anak dipaksa untuk menikah, dan nampaknya didukung oleh pejabat setempat. Beberapa LSM menantang praktek seperti ini. Tidak dipraktekkan secara luas tapi tinggal bersama atau menjadi budak seks sangat lazim namun tidak disebut sebagai pernikahan.

Anak-anak tidak berdaya dan dipaksa oleh teman live-in dengan persetujuan keluarga selama anak itu memberikan sesuatu bagi keluarga. Tidak ada keluhan secara hukum disampaikan dan pelaku terlepas dari jeratan hukum dan komunitas tinggal diam dan setuju dengan perbuatan seperti itu.

Hanya sedikit orang yang berani melaporkan kekerasan seksual terhadap anak-anak meskipun itu menjadi kejahatan bersama yang jamak terjadi dan satu dari tiga gadis yang berusia 8 tahun menjadi korban kekerasan seksual. Banyak dari korban seperti itu dibawa ke lembaga Preda [1] untuk mendapatkan terapi.

Jadi apakah ini bukan pedofilia ketika kejahatan seksual yang sama ditutup-tutupi oleh apa yang disebut dokumen pernikahan?

Pastor Shay Cullen, SSC, adalah seorang misionaris asal Irlandia dan mendirikan Preda Foundation di Kota Olongapo tahun 1974 untuk menegakkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak, terutama korban kekerasan seksual.

Baca juga: Child brides [2]