- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

Gereja-Gereja Papua bersatu melawan radikalisme

Para pemimpin Kristiani dari Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) telah bangkit melawan peningkatan radikalisme di Indonesia yang mereka klaim telah merasuki wilayah mayoritas Kristen.

Uskup Fransiskan Leo Laba Ladjar memimpin para pemimpin gereja dan lebih dari 1.000 orang Kristen dalam sebuah demonstrasi damai di Jayapura pada tanggal 15 Mei.

Harus ada upaya terpadu untuk membebaskan Papua dari kelompok radikal, katanya.

“Kehadiran kelompok radikal [di provinsi ini] berpotensi menimbulkan konflik,” kata uskup tersebut, ia mendesak pemerintah untuk membubarkan kelompok seperti Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Papua tidak memiliki catatan kekerasan sektarian namun kehadiran Hizbut Tahrir di provinsi tersebut telah menimbulkan ketakutan akan konflik antara Muslim, Kristen dan kelompok agama lainnya. Pemerintah pusat sedang memproses pembubarkan Hizbut Tahrir karena bertujuan untuk membentuk sebuah khilafah Islam yang bertentangan dengan ideologi sekuler Indonesia.

Uskup Laba Ladjar -selaku ketua PGGP, mengatakan kepada ucanews.com bahwa para pemimpin Kristen juga khawatir dengan Ja’far Umar Thalib, pendiri dan mantan pemimpin Laskar Jihad – kelompok radikal lainnya. Thalib terlibat dalam konflik sektarian di Ambon pada tahun 1999-2002 di mana ribuan orang terbunuh dan, pada tahun 2016, pengikutnya hampir bentrok dengan orang Kristen di distrik Muara Tami, Papua.

“Kami ingin masyarakat sadar akan kehadiran kelompok-kelompok ini di Papua sebelum terlambat,” kata Uskup Ladjar.

John Baransano dari Gereja Injili Reformed Papua, setuju. Dia mengatakan orang Papua harus menyadari apa yang sedang terjadi di Jakarta dan bagian-bagian lain di Indonesia, terutama pemenjaraan politisi Kristen Basuki Tjahaja Purnama yang juga dikenal sebagai “Ahok”.

“Ahok adalah korban ketegangan sektarian yang diatur oleh kelompok radikal,” katanya. Mantan gubernur Jakarta dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena penistaan pada 9 Mei. Beberapa orang mengatakan bahwa hukuman tersebut dijatuhkan karena tekanan dari kelompok radikal.

Mendapat kritikan

Beberapa aktivis hak asasi manusia, mengeritik pemimpin Kristen karena hanya khawatir tentang radikalisme dan mengabaikan orang-orang biasa di Papua yang hak-haknya dilanggar dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan.

Pastor John Djonga, yang memperjuangkan hak-hak orang Papua, mengatakan bahwa pemimpin Kristen seharusnya lebih memperhatikan situasi hak asasi manusia di Papua.

Frederika Korain, seorang aktivis wanita, berkata, “Mengapa gereja dan uskup tidak melakukan demonstrasi saat orang-orang Papua ditembak atau dibunuh?”

Uskup Ladjar mengklaim bahwa kritik tersebut tidak berdasar, “karena gereja tersebut tidak pernah terdiam dalam masalah semacam itu … Kami hanya tidak protes di jalanan”

Frist Ramdey, kepala komisi hak asasi manusia di Papua, membela Uskup Ladjar dan demonstrasi tersebut.

“Gereja telah bekerja keras. Pelanggaran hak asasi manusia di Papua terungkap karena upaya Keuskupan Jayapura pada 1990-an,” kata Ramdey.

Sekitar 65 persen dari 3,2 juta penduduk Papua beragama Protestan, 18 persen beragama Katolik, 15 persen Muslim dan sisanya adalah umat Hindu dan Budha.

Baca juga: Papuan churches unite against radicalism [1]