UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Indonesia sangat membutuhkan undang-undang anti terorisme

Juli 17, 2017

Indonesia sangat membutuhkan undang-undang anti terorisme

Seorang anggota Densus 88 dalam sebuah acara memperingati HUT Bhayangkara ke-71 di Banda Aceh, 10 Juli 2017. (AFP/ Chaideer MAHYUDDIN

Kelompok hak asasi manusia dan Gereja Katolik meminta DPR untuk segera menyetujui rancangan undang-undang anti-terorisme yang sudah lama tertunda, setelah serangkaian serangan teror di Indonesia.

Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamian mengatakan kebutuhan akan  RUU tersebut sudah sangat mendesak, menyusul serangkaian serangan yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini terhadap polisi oleh jaringan teroris.

Pada bulan Juni, tersangka teroris menikam dua polisi setelah sholat di sebuah masjid di Jakarta Selatan dan menyerang sebuah pos pemeriksaan di luar kantor polisi Sumatera Utara di Medan.

Pada bulan Mei, dua ledakan bom bunuh diri menghantam terminal bus di Jakarta Timur.

“RUU ini cukup komprehensif, memungkinkan polisi untuk mengikuti konsep keadilan preventif, yang berarti mereka dapat melakukan penyelidikan awal untuk mencegah serangan terjadi,” kata Naipospos kepada ucanews.com.

RUU tersebut telah diabaikan selama hampir dua tahun karena adanya pandangan yang bertentangan mengenai beberapa poin penting, termasuk periode yang wajar untuk penahanan pra-peradilan oleh polisi dan keterlibatan militer dalam kegiatan kontra-terorisme.

RUU anti-terorisme yang merupakan revisi terhadap undang-undang terorisme tahun 2003, pada awalnya dirancang oleh pemerintah setelah sebuah serangan bom di dekat pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016, yang menewaskan tujuh orang.

Berdasarkan hukum pidana, tersangka harus dilepaskan satu hari setelah ditangkap kecuali jika dia didakwa secara formal.

Sebaliknya, undang-undang terorisme yang diusulkan akan memberi polisi kekuatan untuk menahan seorang tersangka untuk diinterogasi selama tujuh hari, tanpa tuduhan, yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Sistem saat ini menyulitkan polisi karena mereka tidak dapat melakukan apapun sampai serangan teror terjadi,” kata Naipospos.

Romo Paulus Christian Siswantoko, Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI, mengatakan bahwa polisi harus diberi wewenang ekslusif untuk melakukan penahanan pra-peradilan. Dia juga menambahkan bahwa DPR seharusnya tidak memiliki lebih banyak argumen.

“Tidak mudah bagi polisi untuk mengidentifikasi jaringan teroris hanya dalam satu minggu. Penahanan pra-sidang seharusnya tidak menjadi masalah asalkan polisi memberikan perhatian serius terhadap hak-hak para tersangka teroris. Saya tidak percaya ini pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.

Sementara itu, peran militer dalam penegakan hukum telah diperdebatkan dengan hangat oleh semua pihak.

“Melibatkan militer dalam memerangi terorisme adalah pelanggaran, tidak benar dan tidak tepat sasaran,” kata Al Araf, direktur pengawas HAM Imparsial, dalam sebuah komentar baru-baru ini di The Jakarta Post.

“Ini akan mengarah pada cara yang lebih represif dan berlebihan dalam melawan terorisme,” katanya.

Namun, Supriyadi Widodo Eddyono, direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, mendukung peran lebih besar bagi militer dalam memerangi terorisme.

“Untuk beberapa persoalan, peraturan tertentu dibutuhkan,” katanya dan mengingatkan bahwa kegiatan mereka harus berada di bawah komando Badan Penanggulangan Terorisme Nasional.

ucanews.com

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi