UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Perjuangan Tanpa Henti Suster Fernando untuk Mencari Keadilan

Juli 31, 2017

Perjuangan Tanpa Henti Suster Fernando untuk Mencari Keadilan

Suster Christine Fernando memegan plakat memprotes penangkapan dan penahanan aktivis Tamil, Balendran Jeyakumary, yang ditahan selama 200 hari tanpa ada tuduhan, pada 30 September 2014.

Suster Christine Fernando bukanlah salah tipe biarawati yang bisa bersenang-senang dalam batas-batas dinding biaranya. Dia secara berkala berjalan melintasi kota Katunayake di Sri Lanka, yang dikenal dengan ratusan pabrik garmen.

Dalam perjalanannya, Suster Fernando bertemu dengan banyak wanita yang membutuhkan, termasuk pekerja pabrik garmen. Biarawati dari Kongregasi Suster Cinta Kasih itu sangat sadar akan kemiskinan sistemik dan diskriminasi yang dihadapi perempuan.

Biarawati itu mengatakan bahwa tugasnya adalah membantu pekerja pabrik yang terpinggirkan yang mendapat upah rendah dan yang kondisi kerjanya buruk. Pekerjaannya memberdayakan orang miskin membawa banyak kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidupnya.

“Perempuan muda bermigrasi dari daerah pedesaan untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik, membantu anggota keluarga mereka dan mereka semua adalah umat Budha,” kata Suster Fernando.

Industri garmen menyumbang masuknya aliran modal asing terbesar kedua ke Sri Lanka. Jadi, wanita muda pindah ke kota untuk mencari peluang kerja dan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataannya, mereka sering mengalami kehidupan yang keras, termasuk kerja paksa, pelecehan seksual, kurangnya dukungan dari serikat pekerja, dan tidak ada kesempatan untuk berbicara.

Wanita membentuk sekitar 85 persen tenaga kerja industri Sri Lanka dan sebagian besar berusia antara 25 sampai 30 tahun. Biasanya, perempuan migran mendapatkan upah sebesar 15.000 rupee (US $ 233) per bulan, bahkan dengan lembur. Biarawati itu mengatakan banyak wanita muda ini takut memperbarui kontrak dan konfrontasi dengan manajemen.

Sujeewa Pushpakumari, 45, seorang guru dan ibu tiga anak dari Kota Kandy mengatakan, sebagai mantan pekerja garmen, dia berterima kasih kepada Suster Fernando atas dukungannya. “Saya mulai bekerja di pabrik garmen pada tahun 1991 dan mengenal Suster ini pada tahun 1994 [saat dia memulai pekerjaannya],” kata Pushpakumari.

“Banyak wanita mengalami masalah sanitasi, keselamatan dan keamanan, kondisi kehidupan buruk, serta pelecehan seksual saat mereka kembali ke rumah kos setelah bekerja  malam,” jelasnya.

Suster Fernando mengunjungi rumah kos dan mendengarkan permasalahan para pekerja wanita. Biasanya, lima sampai enam wanita tinggal bersama di sebuah ruangan kecil. Mereka berbagi dapur dan toilet umum dan hanya ada sedikit ruang di antara masing-masing tempat tidur untuk berjalan. Jadi, Suster Fernando mewakili pekerja – pekerja wanita itu untuk bernegosiasi dengan pemilik rumah kos untuk kondisi yang lebih baik.

“Beberapa anak perempuan itu diminta membayar 50 rupee untuk satu bak  air sampai Suster Fernando melakukan negosiasi dan mengurangi jumlahnya,” kata Pushpakumari.

“Suster mendidik para wanita itu tentang hak-hak pekerja, membantu kita untuk mendapatkan keberanian Bahkan sebagai mantan pekerja garmen saya tidak memiliki keberanian untuk berbicara. Setelah bekerja dengan Suster ini saya merasa lebih kuat,” tambahnya.

Masalah lain yang sangat diperhatikan Suster Fernando adalah membantu para pengangguran kembali bekerja. Biarawati itu mendirikan sebuah pusat bernama “Shramaabimani Kendraya” (martabat buruh). Pusat itu memberikan pelatihan kejuruan kepada pria dan wanita yang telah kehilangan pekerjaan mereka. Wanita belajar keterampilan memanggang, menjahit, terapi kecantikan atau media, sementara pria menerima pelatihan elektronika.

Vincent Bulathsinghala, seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia, mengatakan bahwa Suster Fernando telah “menghadapi banyak tantangan di sepanjang jalan,” dalam usaha mengejar hak-hak pekerja, kebebasan berbicara, minoritas dan hak-hak agama, baik dari kongregasinya, gereja , Kelas elit atau politisi.

Meskipun menghadapi  perlawanan seperti itu, Bulathsinghala, yang telah bekerja dengan biarawati itu lebih dari 25 tahun, dapat menyebutkan beberapa masalah yang telah diperjuangkannya, dari membantu tahanan politik dan orang-orang yang anggota keluarganya hilang, sampai kepada orang-orang tak bertanah, petani, nelayan , dan orang-orang yang terkena dampak proyek pembangunan.

Ketika salah satu pabrik garmen yang disebut “Synotex” ditutup, 600 pegawai lokal kehilangan pekerjaan mereka. Namun, semua itu tidak hilang. Biarawati itu selalu dengan tangan terbuka memberi mereka yang terkena dampak nasihat tentang proses persidangan tenaga kerja dan bagaimana mendapatkan kompensasi.

Suster Fernando mengatakan “dengan keberanian dan semangat” dia akan melanjutkan pekerjaan sosialnya selama dia bisa. “Para pekerja ini memperlakukan saya sebagai ibu mereka dan berbagi semua masalah keluarga, kisah hidup dan saya membantu mereka sebanyak mungkin.”

“Pekerjaan gereja seharusnya tidak hanya terbatas pada pergi ke gereja saja,” kata biarawati itu.

ucanews.com

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi