- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

OMK Asia Mencari Makna Laudato si’ Lewat AYD

 

Lebih dari 2.000 Orang Muda Katolik (OMK) yang berasal dari 21 negara di Asia belajar mencari makna Laudato si’, atau ensiklik Paus Fransiskus, melalui pameran kebudayaan yang digelar pada hari kedua dari serangkaian acara Asian Youth Day (AYD) Ke-7.

Seluruh rangkaian acara tiga tahunan yang dimulai pada 2 Agustus dan akan berakhir pada 6 Agustus tersebut digelar di Jogya Expo Center di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. AYD kali ini mengambil tema “Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia.”

Untuk pameran kebudayaan, peserta dari setiap negara memamerkan berbagai produk ramah lingkungan dan informasi tentang kegiatan mereka dalam melindungi lingkungan.

“Ada kebutuhan yang besar, urgent need. Paus mengeluarkan Laudato si’ untuk memintagenerasi kita untuk bertanggungjawab terhadap generasi mendatang, Mau tidak mau,” kata.

Romo Yohanes Dwi Harsanto, ketua steering committee, kepada ucanews.com.

“Kaum muda harus menyelamatkan bumi satu-satunya,” lanjutnya.

Dalam Laudato si’ yang dikeluarkan Mei 2015, Paus Fransiskus mengimbau adanya aksi cepat untuk melindungi lingkungan, termasuk soal perubahan iklim.

Sementara itu, Uskup Ketapang Mgr Pius Riana Prapdi Pr, ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), meminta OMK untuk menjadi jembatan budaya yang akan menjembatani budaya-budaya yang sudah dialami umat manusia selama ini.

“Budaya mencari kebenaran sejati, mencari harmoni, kedamaian. Itu ada dalam setiap budaya. Orang muda menjadi jembatan budaya yang sangat konstitutif bagi berlangsungnya budaya ini. Budaya mendekatkan, samadi, berdoa, bersapa, menemukan ketenangan, bersentuhan dengan alam,” katanya kepada ucanews.com.

“Juga dengan alam, kita saudara. Maka dalam Laudato si’, Paus Fransiskus menyebut bahwa bumi ini saudaraku. Bumi ini sedang menjerit sekarang, menjerit untuk diperhatikan. Maka mari kita jaga bersama. Anak muda menjadi jembatan untuk membudayakan terus,” lanjutnya.

Bagi Shefali Xavier Chaudary, peserta dari India, pameran kebudayaan itu sangat membantunya dalam memaknai Laudato si’.

“Tentu saja, ini sangat penting untuk mempelajari Laudato si’. Kita memanfaatkan segalanya untuk diri kita sendiri, tapi bagaimana dengan generasi mendatang? Maka sangat penting bagi kita untuk melindungi dan merawat lingkungan demi generasi mendatang,” katanya kepada ucanews.com.

Ia pun mengaku terlibat aktif dalam menyadarkan OMK di parokinya untuk melindungi lingkungan. “Setelah menyebarkan informasi tentang ensiklik paus, kami melakukan berbagai kegiatan,” kenangnya.

Sementara itu, Albert dari Paroki St. Agustinus di Pontianak, Kalimantan Barat, berjanji akan mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi lingkungan. “Saya akan merangkul OMK dan juga masyarakat sekitar. Dan kami akan menanam pohon bersama,” katanya.

Extremisme agama

Secara terpisah, pada hari yang sama, sejumlah kardinal, uskup dan imam mengikuti diskusi yang digelar di Hotel Jayakarta. Program yang juga dihadiri para tokoh agama dan pejabat pemerintahan setempat merupakan bagian dari serangkaian acara AYD.

Ketua Komisi Keluarga dan Kerasulan Awam Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC, Federation of Asian Bishops’ Conference) Kardinal Patrick D’Rozario CSC, yang juga adalah uskup agung Dhaka di Bangladesh, mengatakan bahwa negara-negara di Asia memiliki banyak hal yang bisa disumbangkan kepada dunia.

“Asia punya banyak nilai, dan ini tidak digambarkan atas nama agama. Agama hendaknya mengakui ini. Jika ada ektremisme dan intoleransi agama, ini bukan masalah hanya bagi mereka yang berasal dari agama tertentu, tapi ini masalah kemanusiaan di Asia. Kita harus melawannya,” katanya.

“Jangan biarkan ide-ide dari apa yang mereka sebut kolonialisme ideologi ini. Kita bisa selalu melawan ektremisme,” lanjutnya.

Katharina R. Lestari & Konradus Epa, Yogyakarta