UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Korban 1965 Masih Berharap Kasus Mereka Diselesaikan

Agustus 24, 2017

Korban 1965 Masih Berharap Kasus Mereka Diselesaikan

Aktivis dan korban 1965 memperlihatkan foto korban pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah protes di depan Istana Presiden di Jakarta. (ucanews.com)

Setiap hari Kamis siang selama 10 tahun, Bedjo Untung telah berdiri selama satu jam di seberang Istana Kepresidenan di Jakarta, sambil membawa spanduk, mengenakan pakaian hitam dan memegang payung hitam.

Tujuannya adalah untuk menarik perhatian istana terhadap para korban pembersihan anti-komunis tahun 1965-66 di Indonesia dan represi politik selanjutnya yang masih berlanjut sampai hari ini, katanya.

Yang lainnya bergabung dengan Bedjo dalam demonstrasi simbolis itu.

Pada tahun 1970, setelah pembunuhan massal tersebut, Bedjo yang saat itu berusia 17 tahun dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Bedjo dituduh sebagai “antek komunis” karena keterlibatannya dalam aktivisme mahasiswa.

Partai Komunis Indonesia telah dituduh berada di balik pembunuhan perwira senior militer. Ratusan ribu orang – beberapa sumber perkirakan lebih dari satu juta – terbunuh karena tuduhan terkait dengan Partai Komunis. Ada banyak penangkapan massal dan banyak kasus penyiksaan yang dilaporkan.

Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1979, Bedjo menjadi aktivis hak asasi manusia dan karyanya mendapat penghargaan awal tahun ini oleh Yayasan Kebenaran Korea Selatan.

Bedjo, seorang Katolik dan ketua Yayasan Penelitian Korban Korban 1965, mendedikasikan penghargaan tersebut untuk mereka yang dianiaya.

“Saya memohon kepada teman-teman agar tidak mundur,” katanya kepada ucanews.com.

Selain menerima medali, Bedjo diberi hadiah US $ 10.000, yang katanya digunakan untuk mendukung organisasinya.

Lukas Tumiso Danuasmoro, korban lain dari pembersihan tahun 1960an, menggambarkan Bedjo sebagai pria yang berkomitmen terhadap apa yang dia perjuangkan.

“Penghargaan tersebut juga mendorong kami untuk lebih aktif membantu korban lain yang tidak bersuara, terbengkalai dan dilupakan oleh pemerintah,” katanya.

Yati Andriyani, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menghargai perjuangan Bedjo.

Pemerintah Indonesia, katanya, harus malu karena banyak negara lain telah memperhatikan korban pelanggaran di masa lalu.

 

Stigmatisasi dan diskriminasi

 

Menurut Bedjo, korban masih menghadapi stigmatisasi, terutama dari militer Indonesia, yang tidak ingin kasus itu diselidiki lebih lanjut.

Banyak anggota keluarga korban penindasan masih belum bisa menjadi pegawai negeri sipil, polisi atau militer.

Seperti banyak lainnya, kartu identitas Bedjo mencantumkannya sebagai mantan tahanan, sehingga sulit mencari pekerjaan. Untuk bertahan hidup, dia mengar les musik privat.

Anggota militer dan agen intelijen memantau pertemuan para korban, kata Bedjo, dan beberapa peserta terancam serta telepon mereka disadap.

Perjuangan para korban telah dirujuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bedjo mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak menghormati komitmen tahun 2014 untuk menangani ketidakadilan tersebut.

Namun Teten Masduki, kepala staf kepresidenan, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah mempertahankan komitmennya untuk mengatasi keluhan historis tersebut melalui cara peradilan dan non-peradilan.

 

Dukungan moral dari gereja

Bedjo mengatakan bahwa gereja telah membantunya sejak dia dijatuhi hukuman, termasuk dengan obat-obatan, pakaian dan makanan.

“Saya berhutang budi kepada gereja,” katanya.

Namun, dia menambahkan bahwa korban perlu mendapatkan bantuan moral dan finansial selanjutnya.

“Kami mengandalkan Konferensi Waligereja Indonesia,” katanya.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi