- UCAN Indonesia - https://indonesia.ucanews.com -

PRT: Semua Dilakukan untuk Membantu Keluarga

Ita Susiwati, 15 tahun, bukan nama sebenarnya, datang ke Jakarta setahun lalu. Dia nekat meninggalkan desanya di Brebes, Jawa Tengah, meski tidak tahu banyak tentang kehidupan ibu kota Jakarta.

Tapi dia ingin bekerja di sini karena tetangganya menceritakan tentang pendapatannya yang menguntungkan sebagai pekerja rumah tangga.

Ita merasa terkesan saat diberitahu bahwa tetangganya itu memperoleh sekitar 3 juta sebulan.

Setelah mendapat restu dari orang tuanya, dia pun bekerja dengan sebuah keluarga di Jakarta Barat. Tugasnya memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian.

Namun, Susiwati kemudian menyadari bahwa dirinya merasa dibohongi.  Setelah bekerja selama dua bulan, dia hanya memperoleh sekitar 500.000 rupiah sebulan. Meski gaji rendah, Susiwati mengatakan kepada ucanews.com bahwa dia akan tetap bekerja di tempat itu.

Namun, dia mengeluh sering dimarahi karena masakannya dan dilarang berkomunikasi dengan orang tuanya.

Salah satu dari empat anak majikannya selalu mengawasi dia dan dia tidak diijinkan untuk pergi keluar sendiri.

Seorang gadis lain, Anisyah, 16 tahun, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta Pusat.

Dia belajar di sekolah menengah atas, tapi bekerja sepulang sekolah sebagai pembantu paruh waktu untuk sebuah keluarga, berpenghasilan sekitar 300.000 sebulan, cukup untuk membeli buku dan jajan.

“Saya ingin bekerja dan itu tidak mengganggu pelajaran saya,” kata Anisyah kepada ucanews.com.

Dia pertama kali menjadi pekerja rumah tangga saat berusia 13 tahun untuk membantu keluarganya. Ibunya sakit diabetes dan ayahnya hanya memiliki penghasilan kecil sebagai tukang ojek. Anisyah cukup beruntung karena dia hanya bekerja dua jam sehari dan tidak pernah mengalami kekerasan atau pelecehan.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan pada 10 Agustus bahwa ada empat juta pekerja rumah tangga di Indonesia, termasuk sekitar 85.000 di bawah usia 18 tahun.

Seorang pengusaha, Winda, 48, mengatakan bahwa dia menghadapi dilema dalam mempekerjakan anak-anak untuk bekerja di rumahnya.

“Kami tidak ingin mempekerjakan anak-anak, tapi orang tua mereka mendesak kami untuk menerimanya,” katanya, menambahkan bahwa mereka berasal dari keluarga miskin.

Gagal melindungi anak-anak

Pastor Paulus Christian Siswantoko, sekretaris eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian, meminta pemerintah Indonesia untuk melindungi pekerja rumah tangga yang masih anak-anak.

Angka ILO menunjukkan bahwa pemerintah gagal melindungi anak-anak yang rentan terhadap perdagangan manusia, kata Pastor Siswantoko kepada ucanews.com.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang penghapusan pekerja anak, namun parlemen belum mengeluarkan undang-undang tentang pekerja rumah tangga untuk meningkatkan perlindungan anak.

Kementerian Tenaga Kerja Indonesia bekerja sama dengan ILO untuk membangun sebuah road map untuk membebaskan pekerja anak di Indonesia pada tahun 2022.

Pastor Siswantoko meminta pemerintah untuk memberantas kemiskinan, yang telah menjadi penyebab utama anak-anak memasuki angkatan kerja.

Lita Anggraini, ketua Jaringan Nasional untuk Pekerja Rumah Tangga, mengatakan bahwa anak-anak melakukan berbagai tugas rumah tangga.

“Pekerja rumah tangga merupakan isu yang kompleks dengan bias ras, gender, perbudakan dan perdagangan manusia,” katanya.

Eksploitasi

Suster dari Ordo Dominikan, Natalia Sumarni, dari Sekretariat Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia, mengatakan bahwa sulit untuk memantau kondisi anak-anak yang bekerja di balik pintu tertutup.

Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak dari komnas Ham, tidak dapat menerima argumen bahwa anak-anak bekerja dibenarkan karena dapat mengangkat pendapatan keluarga miskin.

“Anak punya hak untuk bermain dan belajar dan harus dilindungi,” katanya.