UCAN China ucanews.com
UCAN Indonesia

Mantan Milisi Timor-Leste Ingin Dihapus dari Daftar Hitam PBB

September 28, 2017

Mantan Milisi Timor-Leste Ingin Dihapus dari Daftar Hitam PBB

Mantan pemimpin militia Timor-Leste Eurico Gutteres tampak dalam foto bulan Januari 2001. Guterres mendesak agar 403 orang mantan militia dikeluarkan dari daftar hitam PBB. (Weda/AFP)

Terabaikan selama hampir dua dekade, milisi Timor-Leste yang mendukung integrasi dan pindah ke Indonesia setelah kemerdekaan negara tersebut menuntut pemerintah untuk menghapus nama mereka dari daftar kejahatan serius Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Masuk dalam daftar hitam PBB membuat mereka sulit bepergian ke luar negeri.

Keluhan tersebut menjadi salah satu dari sekian tuntutan mendorong sekitar 1.000 mantan pejuang turun ke jalan pada 25 September di Kupang, Nusa Tenggara Timur tempat mereka sekarang tinggal. Mereka keluhkan kondisi mereka yang tetap miskin meski telah berjuang untuk Indonesia.

Keadaan mereka sangat berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada anggota senior angkatan bersenjata Indonesia termasuk pemimpin kampanye Timor Leste, Jenderal Purnawirawan Wiranto, yang sekarang menjadi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo.

Eurico Guterres, mantan pemimpin pejuang pro-Indonesia, memohon kepada pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kepastian hukum bagi 403 orang Timor Lorosae yang namanya masih dalam daftar ‘kejahatan serius’ PBB terkait dengan kekejaman selama pendudukan Indonesia atas Timor-Leste.

Dia memohon kepada Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan yang menjadi komandan selama pemungutan suara kemerdekaan Timor Leste 1999.

“Saya adalah salah satu dari 403 mantan orang Timor Lorosa’e dan juga Wiranto yang berada dalam daftar ‘kejahatan serius’. Tapi sekarang, Wiranto bisa pergi ke mana-mana, sementara kami dilarang di mana-mana,” katanya kepada ucanews.com.

Pada tahun 2003, Wiranto bersama enam jenderal lainnya dituduh oleh Unit Kejahatan Berat PBB karena bertanggung jawab atas pelatihan dan mempersenjatai milisi pro-Jakarta yang bergabung dengan militer Indonesia dalam membunuh lebih dari 1.000 orang dan memaksa 250.000 orang Timor-Leste untuk meninggalkan rumah mereka sebelum dan setelah referendum kemerdekaan.

Guterres mengatakan bahwa meskipun mereka diberi kewarganegaraan Indonesia setelah perang, mereka tidak dapat meninggalkan Indonesia, termasuk bepergian ke Timor-Leste untuk menemui anggota keluarga karena nama mereka masih dalam daftar hitam PBB.

Dia juga mencatat bahwa Presiden Jokowi tidak pernah menyebut mantan pejuang Timor-Leste dalam pernyataan resmi.

“Presiden tidak pernah membicarakan mantan gerilyawan yang hidup di bawah garis kemiskinan,” katanya. “Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menghormati pejuangnya,” katanya.

Para pemrotes meminta pemerintah memberikan kompensasi kepada 13.000 anggota milisi serta sebuah piagam penghargaan untuk mereka.

“Kami juga berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada putra dan putri milisi untuk menjadi anggota militer, polisi dan pegawai negeri,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.

Margarida Perera, 45, menjelaskan bahwa anak-anaknya tidak bisa bekerja di instansi pemerintah. “Alasannya adalah mantan orang Timor-Leste,” katanya kepada ucanews.com.

Suami Perera meninggal dalam perang dan dia tidak mendapat bantuan dari pemerintah Indonesia selama 18 tahun.

Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya, yang berbicara dengan para pemrotes mengatakan bahwa dia “sangat memahami keluhan mantan orang Timor-Leste” dan berjanji untuk segera membicarakan masalah tersebut dengan Presiden Jokowi.

Sementara itu, Natalius Pigai, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan para pemrotes, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan pemerintah Timor-Leste.

“Mengenai status 403 dalam daftar PBB, pertama-tama memerlukan permintaan maaf resmi dari pemerintah Timor-Leste, maka kedua negara dapat mengajukan banding ke PBB untuk menghapus orang-orang dari daftar hitam,” katanya kepada ucanews.com.

Natalius mengatakan, kebuntuan juga berlaku untuk masalah lain, seperti aset mereka di Timor-Leste.

“Kedua negara harus duduk bersama untuk mengatasi masalah ini,” katanya.

“Pada 2013, kami mengajukan rekomendasi ke pemerintah Indonesia, namun sepertinya belum ada kemajuan,” katanya.

Jangan lewatkan

Dapatkan info terbaru secara gratis lewat newsletter UCAN Indonesia disini

Podcasts
Donation
© UCAN Indonesia 2024. | Kontak | Tentang | Syarat dan Ketentuan | Privasi